Ayat Hari Ini:

Thursday, July 19, 2007

Kapan Kawin?

Ini bukan bagian dari promosi iklan rokok yang sedang gencar promosi. Pertanyaan, "Kapan Kawin?" sudah menjadi pertanyaan standar yang sering dipertanyakan. Bertemu dengan teman lama, jemaat, pergi ke mana saja, apalagi bertemu dengan saudara2 di dalam acara keluarga, pertanyaan itu selalu muncul.
Banyak orang beranggapan bahwa kawin adalah puncak dari suatu relasi. Perkawinan membuat manusia menjadi lebih sempurna. Menarik sekali. Saya juga sudah membahas tentang pentingnya perkawinan dan keluarga di dalam artikel Work and Family (meskipun hanya garis besar dan di dalam relasi sesama manusia). Yang menjadi pemikiran saya sekarang ini, apakah ketika kita memikirkan perkawinan, apakah kita juga memikirkan perkawinan yang kekal? Bahwa perkawinan antara manusia hanyalah bayang-bayang dari perkawinan kekal? Ya, perkawinan kekal!

7 Marilah kita bersukacita dan bersorak-sorai, dan memuliakan Dia! Karena hari perkawinan Anak Domba telah tiba, dan pengantin-Nya telah siap sedia. 8 Dan kepadanya dikaruniakan supaya memakai kain lenan halus yang berkilau-kilauan dan yang putih bersih!" (Lenan halus itu adalah perbuatan-perbuatan yang benar dari orang-orang kudus.) 9 Lalu ia berkata kepadaku: "Tuliskanlah: Berbahagialah mereka yang diundang ke perjamuan kawin Anak Domba." Katanya lagi kepadaku: "Perkataan ini adalah benar, perkataan-perkataan dari Allah."
Wahyu 19:7-9

Kitab Wahyu yang kita baca ini membicarakan tentang pernikahan kekal yang saya maksudkan. Pernikahan manusia hanyalah pernikahan yang sementara, "hanya sampai maut memisahkan", ataupun kalau di zaman sekarang ini yang sering kita lihat di acara-acara infotainment di televisi, yaitu hanya sampai sudah bosan dan tidak cocok lagi dan melihat ada orang lain yang lebih menarik.

Hampir semua orang yang memikirkan tentang perkawinan, membayangkan tentang kebersamaan sampai selama-lamanya. Ada cinta kasih yang bertahan sampai selama-lamanya. Pemikiran ini muncul karena memang ada kesadaran perkawinan kekal yang ditanamkan di dalam hati manusia. Sayang sekali kalau manusia salah memikirkannya. Apa yang sementara, yang merupakan bayang-bayang dari yang kekal, diharapkan oleh manusia menjadi yang kekal. Padahal perkawinan manusia yang sementara seharusnya menjadi pembelajaran dari perkawinan yang kekal, yaitu perkawinan Anak Domba (Yesus Kristus) dengan umatNya.

Wahyu 19 menceritakan tentang perkawinan ini. Dimulai dengan ada sukacita dan sorak-sorai untuk memuliakan Allah. Hal yang sama seharusnya memulai suatu perkawinan manusia di dunia ini. Bukan hanya sukacita karena sudah mendaptkan pasangan yang bisa saling mengisi dan memenuhi, tetapi juga karena memiliki pasangan yang bisa bekerja sama dalam memuliakan Allah. Selain itu, ada sukacita yang lain lagi yang jarang didapatkan di dalam perkawinan orang percaya, karena tidak pernah memikirkan dan mengerti bagian firman di dalam kitab Wahyu ini, yaitu sukacita ketika bersatu di dalam perkawinan Anak Domba. Jikalau perkawinan yang sementara rasanya ada keagungan, kebaikan, sukacita dan segala macam perasaan yang sulit untuk diungkapkan satu-persatu, bagaimana dengan perkawinan yang kekal? Yang sementara saja sudah begitu indah, bagaimana dengan yang kekal? Pasti lebih bersukacita!!
Setahu saya, hampir tidak ada orang yang memikirkan hal ini. Hampir semua yang memikirkan perkawinan hanya memikirkan dirinya sendiri dan bahkan hampir semuanya mengharapkan perasaan sukacita yang sementara itu bisa bertahan dan kekal sampai selama-lamanya.

Selanjutnya, pengantin dari Anak Domba digambarkan memakai kain lenan halus yang berkilau-kilauan dan putih bersih. Yang dijelaskan selanjutnya sebagai lambang dari perbuatan-perbuatan benar/kudus dari orang-orang benar. Hal inipun yang membuat banyak pernikahan di dalam tradisi Kristen menggunakan gaun putih yang bersih dan berkilauan, karena ingin menyatakan kekudusan dan sakralnya perkawinan itu. Tetapi, zaman sekarang ini orang-orang lebih mementingkan keindahan dari gaun pernikahan itu dibandingkan dengan arti sebenarnya, yaitu kekudusan dan kebenaran.
Di dalam dunia yang sementara ini, siapapun baik yang kudus maupun sudah tercemar boleh menikah. Dan menurut survey (semoga random survey ini tidak mewakili yang sebenarnya), jumlah pengantin yang sudah berhubungan seks terlebih dahulu sebelum menikah, semakin lama semakin meningkat. Apalagi di negara2 Barat, kekudusan mungkin hanya tersisa sedikit di dalam perkawinan. Yang penting gaunnya indah.
Berbeda sekali dengan perkawinan yang kekal. Hanya orang-orang yang sudah dikuduskan dan dibenarkan yang ikut di dalam perkawinan ini. Kekudusan dan kebenaran menjadi hiasan yang begitu agung dan indah di dalam perkawinan ini.

Perkawinan ini menjadi suatu ikatan yang tidak bisa dipisahkan sampai selama-lamanya. Gereja yang sudah dikuduskan dan bersiap menantikan Yesus Kristus, akhirnya dipersatukan sampai selama-lamanya. Tidak ada dosa, tidak ada salah pengertian, tidak ada oknum yang lain (orang ketiga) yang akan mengganggu hubungan ini. Gereja akan dipersatukan sampai selama-lamanya dengan Yesus Kristus. Tidak ada lagi kata "hingga maut memisahkan" Tidak ada kematian lagi. Ini seharusnya yang menjadi perkawinan yang dinanti-nantikan.
Maka kalau ada yang bertanya,"Kapan kawin?" Di dunia yang sementara ini sebagian orang mungkin menjawab,"May(be Yes, maybe No!)". Tapi untuk perkawinan yang kekal, tidak ada kata "maybe" Bagi orang-orang percaya, itu suatu kepastian yang akan dialami dan begitu dinanti-nantikan.



Baca juga:

- Easy Divorce

- Kristologi dan Doktrin Gereja dalam relasi Suami Isteri

- The Family Connection

- Work and family



0 Komentar:

Post a Comment