Ayat Hari Ini:

Showing posts with label Amsal. Show all posts
Showing posts with label Amsal. Show all posts

Sunday, May 11, 2008

Ibu oh.. Ibu..

Ibu..oh..Ibu... Coba perhatikan ibu-ibu di kota-kota besar zaman sekarang ini. Apa yang mereka kerjakan? Apa yang mereka bicarakan? Apa yang menjadi prioritas mereka? Lihatlah klinik-klinik kecantikan dan salon-salon yang bertebaran di mana-mana, untuk siapakah semuanya ini ada? Tidak mungkin ada banyak tempat sebanyak itu, kalau tidak ada permintaan yang sebanyak itu.
Dimana anak-anak mereka sejak bayi? Lebih banyak waktu dengan para pengasuhnya dan semakin cepat mungkin sudah berada di playground. Sama seperti klinik kecantikan, playground juga menjamur dimana-mana. Siapa yang mendidik anak2 mereka?

Inikah tipe ibu-ibu Kristen yang dikatakan oleh Alkitab?

28 Anak-anaknya bangun, dan menyebutnya berbahagia, pula suaminya memuji dia: 29 Banyak wanita telah berbuat baik, tetapi kau melebihi mereka semua. 30 Kemolekan adalah bohong dan kecantikan adalah sia-sia, tetapi isteri yang takut akan TUHAN dipuji-puji.
Amsal 31:28-30

Di mata anak2 dan suami
Ibu yang tidak memperhatikan anak-anaknya tidak layak menjadi seorang ibu. Biasanya karena keegoisan diri yang hanya ingin menyenangkan dirinya sendiri. Anak seringkali dianggap sebagai gangguan untuk segala kesenangannya. Kesenangan di masa lajang yang bisa melakukan apa saja termasuk kerja. Anak hadir hanyalah sebagai penghalang segala kenikmatan masa lalu!??

Padahal anak seharusnya diterima sebagai anugerah, dikasihi dan dididik dalam kebenaran. Anak-anak yang kurang mendapatkan cinta kasihi dan tidak dididik dalam kebenaran biasanya menjadi anak-anak yang bermasalah dan menambah kesulitan bagi sang ibu di masa yang akan datang. Dan biasanya sang ibu akan menyalahkan guru di sekolah atau di sekolah minggu yang tidak bisa mendidik anaknya..

Seandainya anak-anak itu diterima sebagai anugerah dan bukan beban, dikasihi dan dididik dalam kebenaran firman, maka anak-anak akan menyebut ibunya sebagai yang diberkati. Di mata anak-anak biasanya ibu adalah figur yang paling mengasihi dan dikagumi.

Di mata suamipun seorang isteri harusnya menjadi penolong yang sepadan, bukannya pengrongrong yang menjengkelkan. Wanita di dalam Amsal 31 menggambarkan seperti apa wanita yang menjadi penolong sepadan. Wanita yang mendukung dan menghormati suaminya dalam segala aspek. Membuat sang suamipun bangga dan menyebutnya diberkati.

Di antara para wanita
Wanita suka sekali melihat sesama wanita dan mencoba mengagumi ataupun iri. Biasanya yang dilihat adalah kecantikan dan segala sesuatu yang dimiliki oleh wanita lain. Itu sebabnya banyak muncul kontes kecantikan. Kapan ada kontes kebaikan???

Ibu Lemuel dalam Amsal 31 justru membandingkan dengan wanita-wanita yang berbuat baik. Wanita yang diberkati adalah yang lebih baik diantara para wanita yang berbuat baik. Tidak perlu ada kontes untuk pembuktian. Karena pembuktiannya didapat melalui pujian anak-anak dan suaminya. Seharusnyapun ada penghargaan dari para ibu yang lain yang melihat pergumulan dan kebaikan dari ibu yang diberkati.

Dihadapan Tuhan
Mengapa seorang wanita bisa menjadi ibu yang diberkati? Tidak ada rahasianya. Karena semuanya jelas dikatakan di dalam Alkitab. Di ayat 30 dijelaskan semuanya. Jikalau pusatnya hanyalah kepada kecantikan dan kemolekan, maka ia akan hidup dalam kebohongan dan kesia-siaan. Semakin berpusat kepada bagian luar yang akan terus berubah dan pasti akan makin jelek, semakin sedikit memikirkan keindahan di dalam batin yang justru seharusnya berubah makin baik.

Justru karena Takut akan Tuhan dan hidup di hadapan Tuhan-lah yang membuat seorang wanita menjadi lebih baik diantara para wanita, dan dipuji oleh anak-anak dan suaminya sebagai yang diberkati.
Di hari ibu, marilah kita berdoa agar Tuhan membangkitkan lebih banyak lagi wanita-wanita yang Takut akan Tuhan yang akan menjadi ibu-ibu yang takut akan Tuhan yang menghormati dan mengasihi suaminya serta mengasihi dan mendidik anak-anaknya untuk kemuliaan Tuhan. Bukan demi untuk mendapatkan pujian dari anak-anak, suami ataupun sesama ibu, tapi demi memuliakan Tuhan yang sudah memberikan anugerah yang berlimpah melalui anak-anak dan suami.

Happy Mother's Day.. Ibu..oh..Ibu...

Wednesday, November 14, 2007

Congkak dan Sombong

"Bukan yang congkak, bukan yang sombong,
yang disayangi, handai dan taulan..."

Kalimat di atas ini adalah sepotong lagu di masa kecil yang masih terus terngiang-ngiang. Kenyataannya, dosa membuat kecongkakkan dan kesombongan masih terus mengganggu di dalam hati ini. Semua orang pada dasarnya sombong. Bahkan orang yang kelihatan rendah hatipun sering menyombongkan kerendahan hatinya, meskipun itu dilakukan di dalam hatinya.

Mata yang congkak dan hati yang sombong, yang menjadi pelita orang fasik, adalah dosa.
Amsal 21:4

Demikian jugalah kamu, hai orang-orang muda, tunduklah kepada orang-orang yang tua. Dan kamu semua, rendahkanlah dirimu seorang terhadap yang lain, sebab: "Allah menentang orang yang congkak, tetapi mengasihani orang yang rendah hati."
1 Petrus 5:5

Dalam Amsal 21:4, kecongkakkan dan kesomobongan ditunjukkan melalui mata dan hati. Mata seseorang ternyata bisa menunjukkan betapa berdosanya orang itu. Dari cara memandang, entah memandang terlalu tinggi kepada orang-orang tertentu, ataupun merendahkan orang-orang tertentu. Mata kita berbicara, betapa sombong dan congkaknya diri kita. Mata kita mewakili hati kita yang sombong. Itu sebabnya sangat gampang untuk mengenali orang sombong. Seseorang tidak perlu berbicara untuk memperlihatkan kesombongannya. Cara melihat kepada seseorang bisa menunjukkannya. Mata seseorang kadang-kadang bisa kelihatan menipu, tapi kalau diperhatikan lebih jelas dan teliti, maka hati seseorang bisa terlihat, karena mata adalah jendela hati. Itu sebabnya penulis Amsal mengaitkan antara mata dan hati yang sombong.

Yang lebih menarik, waktu penulis Amsal mengaitkan mata yang congkak dengan dosa. Bagi zaman ini, kesomobongan sudah dianggap lumrah. Memang ada yang kurang enak kalau melihat orang yang terlalu sombong. Tapi, kalau kesombongan yang wajar (emang ada?), yang tidak terlalu berlebihan akan kita anggap wajar-wajar saja. Apalagi kalau orang yang menunjukkan kesombongannya dan menunjukkan betapa hebatnya dirinya adalah orang yang memang memiliki kemampuan yang luar biasa. Bagi kita, mungkin tidak apa-apa kalau orang itu kemudian menceritakan kehebatan dan kemampuannya, dan bahkan mempertontonkan semuanya yang akan membuat kita kagum.
Haruskah seseorang yang mempunyai banyak kelebihan dan kemampuan menunjukkan semua kemampuan dan kelebihannya? Motivasinya apa? Untuk menunjukkan betapa hebatnya dirinya? Ataukah ingin menunjukkan anugerah Tuhan yang harus dipakai memuliakanNya (yang ini jarang ada orang melakukannya)?

Ada perbedaan yang besar yang bisa dilihat dari cerita seseorang tentang kemampuan2 di dalam dirinya. Yang berpusat pada diri, akan menunjukkan semuanya dengan kebanggaan dan banyak menggunakan kata 'saya', bahkan penekanannya kepada usaha dan perjuangannya sendiri. Akibatnya, menjadi kurang menghargai orang-orang yang memiliki kemampuan yang hanya sedikit dan bahkan bisa menghina orang-orang seperti itu.
Sedangkan yang berpusat kepada Tuhan, tidak merasa terlalu perlu untuk menunjukkan kemampuan-kemampuannya yang hebat, kecuali pada saat dibutuhkan. Pada saat menunjukkannya, maka orang itu akan menunjukkan bahwa semuanya berasal dari Tuhan dan dikembalikan untuk kemuliaan Tuhan. Ia tidak akan kurang menghargai orang-orang yang kemampuannya kurang, apalagi menghinanya. Ia juga tidak akan iri dengan orang-orang yang melebihi dirinya. Bahkan, kemampuan dan kelebihannya akan dipakai untuk menolong orang yang kurang dan orang-orang yang mempunyai kemampuan yang lebih darinya tapi belum menyadari potensi kemampuan dan kelebihannya itu. Hal ini seringkali hanya menjadi mimpi di dunia yang berdosa ini. Karena semua manusia congkak dan sombong.

Penulis-penulis Alkitab bukan hanya mengatakan bahwa kecongkakkan adalah dosa, ternyata Allah sendiri menentang orang-orang congkak. Orang yang congkak dan sombong harus berhadapan dengan Allah. Mengapa? Kenapa dosa yang satu ini menjadi begitu serius? Sebagian besar orang mencoba menghubungkan dengan awal dari dosa yang disebabkan oleh Iblis. Kalau kita memperhatikan pelayanan Tuhan Yesus, maka Ia menerima dan melayani pemungut cukai, orang-orang berdosa dan bahkan para pezinah. Tetapi, ketika berhadapan dengan imam-imam, ahli Taurat dan orang Farisi yang sombong dan congkak, maka perkataan Tuhan Yesus, "Iblislah yang menjadi bapamu dan kamu ingin melakukan keinginan-keinginan bapamu" (Yoh 8:44).
Begitu juga dengan kesombongan Hawa yang tidak mengikuti perintah Allah dan memakan buah yang dilarang, karena ingin menjadi seperti Allah. Kesombongan yang membuat dosa hadir dan juga masuk ke dunia ini.

Selain itu, kesombongan ada kemiripan dengan penyembahan berhala. Kesombongan manusia menyebabkan manusia menyembah dirinya dan segala kemampuannya, yang sebenarnya adalah anugerah Allah. Pemberian Allah yang seharusnya dipakai untuk memuliakan dan menikmatiNya, ternyata diklaim sebagai milik pribadi, pencarian pribadi, usaha pribadi dan perjuangan pribadi, untuk menyembah diri sendiri dan mencari pujian dan penyembahan dari orang-orang disekelilingnya. Sama persis dengan penyembahan berhala.

Mengapa kita menjadi sombong? Jika yang kita miliki semuanya adalah anugerah Allah, apa yang bisa kita sombongkan? Waktu kita lahir, kita miskin dan belum bisa melihat semua yang sudah Tuhan anugerahkan dan siapkan bagi kita. Waktu kita mati, kita akan kehilangan semua yang sudah kita miliki dan menjadi miskin kembali. Lahir dalam keadaan telanjang, bodoh, miskin dan tidak bisa apa-apa. Matipun membuat kita miskin dan tidak bisa melakukan apa-apa lagi di dunia. Adakah yang bisa dibanggakan manusia selama hidup di dunia? Ada! Tuhan satu-satunya yang harus dibanggakan, dipuji dan dimuliakan. Karena Ia adalah sumber segala sesuatu.
Orang ini memegahkan kereta dan orang itu memegahkan kuda, tetapi kita bermegah dalam nama TUHAN, Allah kita.
Mazmur 20:8

Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!
Rom 11:36

Wednesday, March 7, 2007

I Love this Game!

Habis nonton bola, UEFA Champions League jadi mikir lagi tentang posisi permainan, game, olahraga, hobby dan rekreasi dalam hidup ini. Mengapa manusia sangat menyukai bermain? Mengapa banyak orang yang sampai dewasa, keinginannya hanya bermain terus? Apakah bermain hanya untuk anak-anak? Mengapa kecenderungan dalam ibadah gereja yang bersifat persekutuan memasukkan elemen bermain di dalamnya? Tepatkah ini? Jangan-jangan karena dalam hidup ini terlalu banyak kesibukan dalam kerja, tidak ada kesempatan untuk bermain sehingga ibadahpun dijadikan kesempatan untuk bermain, bergaya dan pelampiasan ekspresi? Ada banyak pertanyaan yang justru muncul karena habis nonton sepakbola..Tapi, saya tidak akan membahas konsep sepakbola, tetapi konsep bermain dihubungkan dengan kerja.

30 aku ada serta-Nya sebagai arsitek, setiap hari aku bersukacita, dan senantiasa bermain-main di hadapan-Nya; 31 aku bermain-main di atas muka bumi-Nya dan anak-anak manusia menjadi kesenanganku.
Amsal 8:30-31 ROT

Saya menafsirkan Amsal 8 ini menunjuk kepada Kristus. Harusnya membahas dulu Amsal 8:22-25, dengan melihat ke bahasa Ibraninya yang menunjukkan bahwa Hikmat bukan diciptakan, tetapi keberadaannya sudah ada sejak kekekalan. Bahkan dalam ayat 30 berbicara tentang Hikmat yang mencipta (sebagai arsitek), setelah sebelumnya berbicara bahwa Tuhan mencipta. Dan sesudah penciptaan itu, sang Hikmat bermain-main. Begitu juga ay. 31, dikatakan bahwa Hikmat juga bermain-main di atas muka bumi. Pasti jadi banyak pertanyaan, apa maksudnya bermain-main?
Konsep kita tentang bermain sebenarnya banyak yang sudah dicemari oleh dosa. Bermain dianggap cocok untuk anak kecil, tapi bukan lagi prioritas bagi orang dewasa yang sudah bekerja. Kalaupun ada orang dewasa yang menyukai bermain, biasanya menjadi terikat dengan permainan dan sulit untuk berhenti. Maka muncul banyak konsep tentang bermain, yang berhubungan dengan memanfaatkan waktu, khususnya waktu luang.
Untuk mengerti tentang konsep bermain dan kerja, saya mengutip pendapat dari Robert. K. Johnston, dalam bukunya The Christian at Play. Meskipun saya tidak setuju dengan semua analisanya, tapi setidaknya kita bisa belajar dari analisanya (dalam tulisan ini, pendapatnya sudah bercampur dengan pendapat saya). Johnston mencoba membedakan tiga cara pandang dari orang Yunani, Protestan dan orang Israel dalam melihat bermain dihubungkan dengan kerja.
1.Orang Yunani. Bagi orang Yunani, pekerjaan adalah untuk budak. Orang yang bebas adalah orang yang bermain dan bukan bekerja. Maka, bagi mereka hidup adalah bermain dan bersenang-senang. Tentu saja tidak semua orang Yunani berpikiran seperti itu. Tetapi konsep yang paling umum, yang banyak bekerja adalah budak. Maka bermain dan waktu luang menjadi salah satu elemen yang penting dalam hidup orang Yunani yang bebas. Sementara kerja adalah bagian dari para budak.
2. Di zaman Protestan, konsep ini berubah. Kerja adalah bagian dari ibadah dan merupakan salah satu elemen yang terpenting dalam hidup. Maka kerja menjadi pusat. Menurut Johnston(yg ini tidak tentu benar), orang2 Protestan memandang bermain dan waktu luang itu penting sebagai upah dari kerja dan sebagai kesempatan refreshing untuk bekerja lagi. Jadi, bermain itu baik kalau berguna melampaui dirinya. Jadi, kalau bermain hanya untuk bermain tidak ada gunanya, kecuali kalau bermain sebagai upah atau persiapan untuk kerja lagi.
3. Israel dalam Perjanjian Lama. Kalau diperhatikan, banyak sekali perayaan-perayaan yang ditetapkan, selain pekerjaan. Dan perayaan-perayaan itu bukan untuk bekerja. Bahkan disuruh untuk berhenti bekerja. Bahkan dalam relasi pria dan wanita, digambarkan dengan permainan dalam Kidung Agung. Maka, permainan pada dirinya sendiri mempunyai kebaikan dan tujuan sendiri, sama seperti kerja pada dirinya sendiri.
Saya sendiri mencoba melihat dari sudut CFRC (Creation, Fall, Redemption and Consummation).
- Creation. Dalam Penciptaan, hidup manusia dimulai dari Sabat, kesempatan untuk pemenuhan diri, ada kepuasan dalam perayaan (sama seperti yang dirasakan dalam permainan). Kemudian cerita Adam bermain-main dengan binatang2 (meskipun sebagian hanya melihatnya sebagai Adam menamai mereka), binatang2 adalah mainan sekaligus rekan bermain Adam, sampai dia bertemu dengan penolong yang sepadan, dimana Adam bisa betul-betul menikmati permainan yang lebih memuaskan.
- Fall. Waktu manusia, jatuh dalam dosa. Kerja sepertinya hanya menjadi beban. Maka muncul dua ekstrim: konsentrasi hanya pada kerja; atau bermain dan meninggalkan pekerjaan, sesudah memastikan kebebasan finansial. Zaman sekarang ini banyak yang ingin mengkombinasikan kerja sambil bermain. Betulkah ini konsep terbaik?
- Redemption. Tuhan Yesus menunjukkan gaya hidup sering pergi ke perjamuan makan (perayaan zaman itu), bahkan mujizat pertama Tuhan Yesus bukan terjadi di Bait Allah, tapi di sebuah perjamuan kawin. Paulus bahkan sering memakai analogi permainan untuk menjelaskan konsep-konsep kebenaran, artinya ia tidak menolaknya bahkan memakainya sebagai bahan pelajaran. Maka permainan, kembali menjadi bagian dari hidup yang bisa juga dinikmati.
- Consummation. Bagaimana dengan kekekalan? Pada umumnya orang berpikir, bahwa hidup ini untuk bekerja. Tetapi, sesudah tidak bisa bekerja dan mati, bahkan sampai selama-lamanya tidak bekerja lagi, tetapi bebas bermain. Saya tidak setuju dengan pendapat ini. Bagi saya sampai selama-lamanya akan terus bekerja (Saya membahasnya dalam Work and Family). Di mana posisi bermain? Bermain sebenarnya adalah bagian dari pemuasan dan pemenuhan hidup yang didapatkan dalam beribadah. Maka, permainannya adalah bermain dengan Tuhan (bukan mempermainkan Tuhan, seperti yg ditunjukkan dalam banyak ibadah dan persekutuan) dan dengan sesama orang pilihan. Saya tidak bisa membayangkan seperti apa. Tetapi, kalau kita kembali kepada Amsal 8, maka Kristus akan bermain-main dengan kita, dan bukan mempermainkan kita.
Maka, ada banyak pemikiran yang muncul, permainan2 dan olahraga seperti apa yang akan terus bertahan sampai kepada kekekalan, permainan2 yang betul-betul memuliakan Tuhan? (Pemikiran seperti ini mungkin agak aneh dan perlu diperdebatkan, tapi saya memikirkannya). Kata bermain-main yang dipakai dalam Amsal 8:31, sebenarnya juga bisa diartikan bersukacita, merayakan. Ini sebenarnya yang menjadi inti dari permainan. Bukan kompetisi, kemenangan dan uang, seperti dalam permainan zaman sekarang ini.

Kembali kepada Amsal 8, Tuhan mencipta lalu bermain. Atau dalam bahasa Kejadian 1, mencipta lalu Sabat. Sebaliknya, manusia sesudah dicipta Sabat dulu (bermain) pada hari ketujuh, lalu bekerja dari hari pertama sampai keenam. Itu sebabnya, sejak dari kecil manusia tidak langsung bekerja, tapi bermain dulu, lalu bekerja. Dua hal ini, bermain dan bekerja adalah dua hal yang penting dalam hidup. Keduanya adalah bagian dari ibadah. Bukan dengan mencampurkannya atau memanfaatkannya untuk salah satu, kerja untuk bermain dan bermain untuk bekerja. Tetapi menerima kerja adalah suatu kenikmatan sebagai bagian dari ibadah. Dan menerima bermain sebagai bagian dari ibadah juga, waktu kita hanya bermain dan memanfaatkan waktu kita untuk hobi kita.
Salah satu cara untuk melihat apakah permainan itu tetap berguna dalam pemuasan hidup, adalah dengan melihat apakah kita terikat atau tetap bebas memanfaatkannya. Ibadah tidak pernah mengikat kita, tapi membebaskan kita untuk menikmati segala kelimpahan anugerah Tuhan. Maka, bertanyalah apakah olahraga, hobi, games dan segala sesuatu yang kita lakukan sudah mengikat kita, ataukah kita bisa menikmatinya dengan bebas dalam rangka pembelajaran menikmati sumber segala kenikmatan?
Yang terakhir, sebaiknya kita memilih permainan dan kegiatan dalam waktu luang kita yang membawa kita untuk bisa lebih dekat kepada Tuhan, persekutuan dengan manusia, menikmati keindahan dunia dan membuat kita semakin mengerti semua yang baik.

Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu.
Fil 4:8