Ayat Hari Ini:

Showing posts with label Kotbah di Bukit. Show all posts
Showing posts with label Kotbah di Bukit. Show all posts

Sunday, June 14, 2009

Uang (3): Tiga Penghambat

Lucu ketika melihat orang-orang yang mengaku beragama dan hanya memiliki satu Allah, tapi dalam praktek hidupnya menunjukkan kenyataan yang berbeda. Pusat hidup mereka bukan kepada kehendak dan keinginan Allah, meskipun mereka suka mengatakan dengan kalimat-kalimat yang manis di bibir. Hati mereka berpusat kepada materi, matapun selalu silau melihat cahaya materi dan bisa ditebak siapa tuan mereka sesungguhnya.

Pemberian-pemberian yang seharusnya membantu kita manusia untuk lebih berpusat kepada Sang Pencipta dan memuliakan-Nya, ternyata justru menuju ke arah yang berbeda karena hambatan-hambatan yang ada. Apa saja hambatannya?

21 Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada. 22 Mata adalah pelita tubuh. Jika matamu baik, teranglah seluruh tubuhmu; 23 jika matamu jahat, gelaplah seluruh tubuhmu. Jadi jika terang yang ada padamu gelap, betapa gelapnya kegelapan itu. 24 Tak seorangpun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian, ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon."
Matius 6:21-24


Salah Tempat (21)
Hati manusia seharusnya bukan berada di hartanya. Harta itu hanyalah benda mati yang seharusnya ditaklukkan dan dikelola manusia. Harta seharusnya bukan menjadi tujuan manusia yang membuat manusia harus terus memikirkannya dan meninggalkan kehidupannya di situ.

Ada lebih banyak hal dalam kehidupan ini yang lebih berharga dan bahkan tidak ternilai harganya bila dibandingkan dengan harta. Ketika hati hanya berada bersama-sama harta, maka kita sudah kehilangan berbagai macam hal yang berharga untuk dinikmati dan memuliakan Allah.
Dimana hatimu berada? Ujiannya, relakah kita meninggalkan harta kita dan tidak memikirkannya? Ujian yang lebih berat lagi, relakah kita mempersembahkan semua harta kita?

Mengapa hati bisa berada bersama-sama harta? Kata pepatah, dari mata turun ke hati.

Salah Lihat (22-23)
Mata yang seharusnya diciptakan untuk melihat kebaikan dan dipergunakan untuk kebaikan, ternyata menyesatkan hidup manusia sejak jatuh dalam dosa. Penipuan dari Iblis membuat umat manusia tidak bisa lagi menghargai yang terang, baik dan berharga dari Tuhan. Manusia dalam kegelapannya, hanya ingin melihat yang memuaskan dan dianggap bisa menjamin hidupnya, yaitu uang.

Itu sebabnya orang bisa gelap mata ketika berhadapan dengan uang. Bahkan saudarapun bisa bunuh-bunuhan jika sudah berbicara tentang harta dan uang. Betapa gelapnya kegelapan itu.

Demi untuk harta, banyak orang yang merelakan apa saja bahkan dirinya sendiripun. Banyak orang yang sudah merendahkan dirinya sedemikian rupa dibawah kekuasaan harta yang adalah benda mati. Mengapa sampai manusia bisa salah melihat dan matanya menjadi gelap dan hanya melihat materi yang bisa memberikan kehidupan bagi dirinya?

Ada masalah yang lebih mendasar yang membuat manusia salah melihat dan bermata gelap.

Salah Mengabdi (24)
Ketika manusia menganggap Mamon itu tuannya dan menjadi tujuan hidup di dunia, maka gelaplah matanya dan membuat hatinya berada di mana hartanya berada.

Kesalahan mengabdi karena permasalahan iman. Allah yang harusnya dikasihi dan yang bisa menjamin hidup manusia yang membuat manusia ingin terus melayani-Nya, dalam kenyataan hidup ini sering terlihat begitu abstrak dan jauh dari memuaskan keinginan manusia yang berdosa. Ia tidak memberikan dengan secepatnya yang kita inginkan. Bahkan lebih sering lagi Ia tidak memberikan yang kita inginkan dan kita minta. Allah tidak bisa diatur!

Berbeda dengan Mamon. Ketika seseorang mengabdi kepada materi. Kelihatannya ada jaminan yang lebih nyata untuk masa depan, untuk membeli segala sesuatu yang diinginkan hatinya dan bisa diatur mengikuti keinginan hatinya yang berdosa. Jauh sekali berbeda dengan Allah! Itu sebabnya manusia lebih suka menyembah yang bisa diatur dan memuaskan keinginannya yang berdosa.

Karena hidupnya mengabdi kepada Mamon, maka yang dilihat semuanya berdasarkan sudut pandang kegelapan dan membuat hatinya berada bersama hartanya.

Berbeda dengan orang-orang yang mengabdi hanya kepada Allah. Harta tidak akan membuat matanya menjadi gelap dan hanya melihat hidup dari sudut pandang uang. Hatinya tidak akan berada bersama harta di bumi yang akan hilang. Tapi hatinya akan bersama-sama Allah di sorga yang mempunyai segala harta yang lebih agung, suci, mulia dan indah.
Berbahagialah orang-orang yang percaya kepada Allah. Karena dengan mata kita akan meilhat kemuliaan yang sejati dan hati kita akan puas dengan Allah dengan berkat-berkat-Nya.

Friday, June 12, 2009

Uang (2): Tiga Pembelajaran

Setiap orang yang hidup di dunia ini diberikan kesempatan dan berkat oleh Allah. Ia meminjamkan banyak hal kepada kita dalam hidup ini. Masalahnya, apakah kita mengerti dan bisa melihat semua anugerah dan pemberian-Nya? Adakah kita belajar mempergunakan-Nya? Adahkah ilmu ekonomi membuat kita bijaksana meliaht uang dan harta pemberian Allah?

19 "Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi; di bumi ngengat dan karat merusakkannya dan pencuri membongkar serta mencurinya. 20 Tetapi kumpulkanlah bagimu harta di sorga; di sorga ngengat dan karat tidak merusakkannya dan pencuri tidak membongkar serta mencurinya.
Mat 6:19-20

Hidup di dunia yang sementara ini setidak-tidaknya harus belajar tiga hal. Bisa saja terlalu menyederhanakan karena kita hidup di dalam kehidupan yang kompleks dan rumit. Banyak hal yang harus kita pelajari dalam hidup. Tapi setidak-tidaknya, ada tiga hal yang mendasar berhubungan dengan materi dan berkat pemberian Allah kepada kita.

Belajar Dapat
Dalam ilmu ekonomi mengajarkan hal ini sebagai modal awal, dan selanjutnya dipakai untuk mendapatkan keuntungan. Bagaimana dengan modal yang ada bisa mendapatkan keuntungan sebanyak mungkin? Hal ini yang terus dipelajari manusia.

Banyak orang berpikir hidup itu belajar mengumpulkan dan mencari harta, kemudian menghabiskan waktu hidupnya hanya untuk mencari dan mendapatkan yang diinginkannya. Dan dunia sering menyimpulkan bahwa orang-orang yang berhasil mengumpulkan harta sangat banyak adalah orang2 kaya. Tapi Alkitab justru mengatakan bahwa kita dapat semuanya karena anugerah. Yang kaya siapa? Yang memberi!
Hanya orang-orang yang tidak mengerti dari siapa Ia mendapatkan pinjaman harta untuk didunia ini yang begitu sombong dengan kekayaan yang seolah2 akan tetap jadi miliknya selama-lamanya.

Maka pembelajaran pertama ini seharusnya sangat gampang, jika kita percaya hidup sementara dan hidup kekal adalah anugerah Tuhan. Kita adalah orang-orang kaya, karena sang Pemberi hidup dalam hidup kita tapi kita tidak bisa sombong karena semuanya anugerah. Kita tidak perlu memfokuskan perhatian kepada bagaimana cara mendapatkannya, karena sudah dijamin oleh anugerah dari Sang Pemberi yang Maha Pemurah yang hidup dalam hidup kita. Fokus kita harus berpindah pada pembelajaran selanjutnya.

Belajar Pakai, Kelola dan Distribusi
Dalam ilmu ekonomi mengajarkan bagaimana alur distribusi dari produsen kepada konsumen. Bagaimana memproduksi dengan baik, mendistribusikannya dengan baik juga dan menggunakan iklan supaya bisa lebih banyak konsumen yang mempergunakan dan membuat produksi akan meningkat.

Pelajaran kedua ini lebih sulit. Karena disini terletak lika-liku dan seninya hidup. Itu sebabnya kita harus belajar dari kecil untuk mengerti dan bersiap untuk menggunakan semua pemberian Tuhan, mengelola, mengembangkan dan mendistribusikannya dengan baik. Hanya sedikit orang di dunia ini yang betul2 belajar di tahap ini. Dunia ini biasanya mengatakan orang-orang ini adalah orang2 sukses. Orang-orang yang bisa mengelola, mengembangkan dan menikmati hasil dari kerja kerasnya.

Alkitab mengajarkan kepada kita dari perumpamaan tentang talenta. Menyadari pemberian sang Tuan, mengelola dan mengembangkan sampai maksimal untuk dipersembahkan kepada sang Tuan yang sudah meminjamkan harta-Nya.
Fokus orang percaya, bagaimana memakai harta pemberian Allah, mengelola, mengembangkan dan mendistribusikannya dengan baik dan bijaksana. Kita tidak diberikan talenta (uang) untuk disimpan sendiri dan terus kuatir dengan dunia ini dan kecewa dengan Sang Tuan yang hanya memberikan sedikit kepada kita. Ia mempercayakan kepada kita biar kita bisa mewakili Dia di dunia ini dalam menaklukkan dan mengelola harta-Nya demi untuk kemuliaan-Nya.

Tapi pembelajaran di dunia belum selesai sampai tahap kedua. Masih ada tahap selanjutnya yang lebih sulit dan mungkin mengecewakan bagi sebagian besar manusia.

Belajar Hilang
Di dalam ekonomi dikenal dengan nama krisis ekonomi, seperti yang dialami oleh dunia sekarang ini. Ataupun juga suka dianggap sebagai kerugian. Ekonomi hanya mengajarkan bagaimana menghindar dari segala krisis dan mencoba membereskan segala kerugian biar bisa mendaptkan keuntungan.

Dunia secara umum menyebutnya kegagalan, atau kalau belum sampai kepada kematian dianggap sebagai sukses yang tertunda. Tapi, kalau sampai mati dianggap sebagai kemalangan, musibah ataupun tragedi yang harus ditangisi dan disesali ataupun dikasihani.
Suka tidak suka, inilah pembelajaran terakhir yang harus dipelajari manusia karena semuanya akan hilang. Celakanya, dunia hanya mengajarkan bagaimana cara menghindar dari keterhilangan.
Asuransi menjamur dimana-mana untuk mempersiapkan seandainya mengalami kehilangan ataupun kerugian.

Bagi orang percaya, Alkitab sudah memberikan cara untuk belajar hilang dengan pengorbanan dan mempersembahkan semuanya. Tuhan Yesus mengajarkan persebahan diri dan memuji janda yang mempersembahkan seluruh penghasilannya. Persembahan mengajarkan bagaimana kita menghadapi dan bersiap untuk kehilangan.
Semua yang kita pikir harta dan milik kita, sesungguhnya bukanlah milik kita. Hanya dipinjamkan dan dipercayakan kepada kita untuk kelola-pakai-distribusi sampai waktu yang ditentukan secara sepihak oleh Sang Pemilik.

Jadi sebelum semuanya itu akan hilang, bagaimana memakai dan mempergunakannya? Bisakah dengan harta itu membuat harta di sorga makin bertambah? Atau mungkinkah dengan kehilangan harta di bumi justru bisa mengumpulkan harta di sorga? Kita harus bergumul dihadapan Allah untuk mengerti kehendak-Nya dan tahu cara memanfaatkan semua anugerah-Nya.

Wednesday, June 10, 2009

Uang (1): Dikumpulin untuk apa?

Ada banyak perkataan Tuhan Yesus yang sangat luar biasa. Bagi orang percaya, dari sekian banyak perkataan itu bisa dipercayai dan diimani. Tapi kalau sudah berbicara soal harta dan perintah-Nya soal jangan kumpulkan harta di bumi, maka perkataan ini menjadi sulit untuk dipercayai. Jikalau kita punya banyak harta, maka tiba-tiba bisa amnesia dan seolah-olah tidak tahu-menahu tentang ayat itu. Berbagai pertanyaan langsung muncul dalam hati: Betulkah Tuhan Yesus memang bermaksud mengatakan jangan kumpulkan harta? Apakah artinya juga jangan nabung? Masa sih begitu?

19 "Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi; di bumi ngengat dan karat merusakkannya dan pencuri membongkar serta mencurinya. 20 Tetapi kumpulkanlah bagimu harta di sorga; di sorga ngengat dan karat tidak merusakkannya dan pencuri tidak membongkar serta mencurinya.
Mat 6:19-20

Kumpul dan Pakai
Kalau hanya melihat di ayat 19, maka harus diambil kesimpulan tidak boleh mengumpulkan harta. Tetapi jikalau dilihat sampai dengan ayat 20, maka justru kesimpulannya harus kumpulkan harta. Meskipun yang disuruh dikumpulkan itu harta di sorga. Artinya, yang menjadi pusat sebenarnya bukan di jangan mengumpulkan harta di bumi, tapi soal kumpulkan harta di sorga.

Mengapa sampai Tuhan Yesus melarang mengumpulkan harta di bumi? Mengumpulkan harta di bumi adalah pekerjaan sia-sia. Karena semua yang dikumpulkan adalah anugerah dan pemberian yang dipinjamkan dari Allah untuk dikelola, dikembangkan dan dipergunakan. Itu sebabnya, hidup yang hanya bertujuan untuk mengumpulkan harta adalah hidup yang tidak berguna dan sia-sia. Semua sudah disediakan oleh Allah, tidak dikejarpun akan diberi, sudah disiapkan pada waktunya.

Tujuan hidup kita di dunia bukan untuk mengumpulkan harta di bumi, karena sudah ada semuanya. Yang lebih penting, bagaimana mempergunakan harta yang sekarang ada. Apakah kita bisa memakainya dengan benar, bisakah kita mengelola dan mendistribusikannya untuk kemuliaan Allah? Kalau kita tahu caranya, maka kita sedang mengumpulkan harta di sorga.
Kalau tujuan mengumpulkan harta di bumi hanya demi untuk masa depan, maka artinya lebih mempercayai harta yang menjamin masa depan dan bukan Allah yang menyediakan semuanya.

Jadi, bukan bagaimana mencari dan mengumpulkan harta yang menjadi pusat hidup manusia. Tapi, bagaimana mempergunakannya, mengelola, memakai dan mendistribusikannya untuk menyaksikan dan memuliakan Allah yang sudah meminjamkan dan mempercayakan kepada kita talenta (uang) yang tidak layak kita terima. Itu yang bisa membuat harta dikumpulkan di sorga.

Sementara dan Kekal
Sebagian orang mungkin menganggap kalimat Tuhan Yesus tidak lagi relevan untuk zaman sekarang ini. Kalimat-Nya hanya cocok untuk zaman dulu yang menyimpan uang di rumahnya sendiri. Sekarang ini, uang bisa disimpan di bank (begitu juga dengan barang dan surat berharga), tidak ada karat dan tidak rusak (rusakpun bisa diganti oleh bank). Kalaupun pencuri mencuri uang di bank, tetap saja uang nasabah diganti oleh bank. Begitu juga dengan harta yang ada, dengan adanya asuransi hilangpun bisa diganti.

Meskipun demikian, kalau dilihat dengan teliti dan menangkap prinsipnya, maka kalimat Tuhan Yesus tetap relevan. Karena yang dimaksudkan-Nya bahwa harta di bumi itu cuma sementara dan akan hilang. Beda dengan harta di sorga yang sifatnya kekal.
Itu sebabnya, visi manusia seharusnya bersifat kekal dan bukan hanya untuk sementara. Karena kalau hanya melihat yang sementara dan bertujuan hanya untuk kesementaraan, maka akan diakhiri dengan kehilangan dan kesia-siaan. Mengapa tidak menghidupi kesementaraan ini dari sudut pandang kekekalan? Bukankah kesementaraan ini adalah persiapan untuk kekekalan?

Jika harta yang sementara hanya dicari dan dikumpulkan untuk hidup yang sementara, maka artinya harta itu tidak ada gunanya bagi hidup yang bersiap untuk kekekalan dan bahkan hanya jadi penghambat yang menghabiskan waktu, tenaga, pikiran, emosi dan hidup itu sendiri.

Sesungguhnya Allah yang begitu baik sudah memberikan terlalu banyak harta kepada kita. Bersyukurlah kepada Allah yang sudah memberikan begitu banyak harta dan berkat kepada kita. Kelolalah dengan benar, kembangkan dengan maksimal, pakailah dengan bijaksana, muliakanlah Allah dengan harta pemberian-Nya, bersiaplah untuk mempersembahkan semuanya kembali kepada yang memberikan pinjaman dan kumpulkanlah harta di Sorga.

Monday, September 8, 2008

Puasa dan Puas ah!

Di dalam kekristenan, puasa seringkali dijadikan alat untuk membuat seseorang terlihat lebih rohani. Seseorang yang ingin melakukan sesuatu yang menurutnya berharga, ataupun seringkali ingin mendapatkan sesuatu yang digumulkan, seringkali menambahkan elemen puasa untuk mencapai tujuannya.
Bahkan seseorang yang puasa, kadang2 mencoba menunjukkan bahwa dirinya sedang puasa dan bergumul. Betulkah puasa sudah mencapai tujuan yang sebenarnya? Bagaimana pandangan Tuhan Yesus tentang puasa?

16 "Dan apabila kamu berpuasa, janganlah muram mukamu seperti orang munafik. Mereka mengubah air mukanya, supaya orang melihat bahwa mereka sedang berpuasa. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya. 17 Tetapi apabila engkau berpuasa, minyakilah kepalamu dan cucilah mukamu, 18 supaya jangan dilihat oleh orang bahwa engkau sedang berpuasa, melainkan hanya oleh Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu."
Mat 6:16-18

Dalam Matius 6:1, Tuhan Yesus berkata, "Ingatlah, jangan kamu melakukan kewajiban agamamu di hadapan orang supaya dilihat mereka, karena jika demikian, kamu tidak beroleh upah dari Bapamu yang di sorga." Kemungkinan besar karena banyak orang yang mengaku beragama sengaja menunjukkan dan memperlihatkan kewajiban agama biar dikagumi banyak orang. Menurut Tuhan Yesus, itu adalah orang munafik.

Orang Munafik
Orang munafik sengaja melakukan kewajiban agamanya demi untuk kemuliaan dan kebanggaan dirinya. Mereka ingin menunjukkan bahwa mereka orang yang beragama, jadi mereka puasa. Biasanya itu kelihatan dari fisik dan tingkah laku mereka yang menjadi berbeda, lebih lemah dan minta dikasihani.

Puasa bagi orang munafik demi untuk mendapatkan upah bagi dirinya. Menurut Tuhan Yesus, mereka sudah mendapatkannya. Mereka sudah mendapatkan keinginan mereka untuk dilihat banyak orang bahwa mereka berpuasa dan melakukan kewajiban agamanya.

Bagi orang-orang tertentu, puasa mereka tidak boleh diganggu oleh siapapun dan apapun. Tidak boleh ada yang makan di depan mereka, tidak boleh ada yang membuat mereka menjadi nafsu, dll. Kalau begitu, buat apa mereka berpuasa kalau semuanya memang sudah dihilangkan?

Puasa Seharusnya
Puasa seharusnya tetap menghadapi kenyataan dan problem yang sama dengan hidup sehari-hari. Bukan keadaan luar yang dibuat lebih mudah demi untuk puasa. Tapi keadaan di dalam hati yang seharusnya berubah, yang selama ini terlalu bergantung kepada yang diluar.

Begitu juga dengan penampilan fisik dan aktivitas. Puasa seharusnya tidak membuat fisik menjadi terlihat lemah dan patut dikasihani, karena terlalu lemah. Sebaliknya Tuhan Yesus mengajarkan seseorang untuk mencuci muka dan meminyaki kepala, yang menunjukkan keadaan yang tetap baik dan bersukacita.
Puasa juga seharusnya tidak menghalangi dan mengurangi seseorang untuk melakukan segala aktivitasnya. Karena puasa menunjukkan kebergantungan kepada Tuhan. Jika benar2 bergantung kepada Tuhan, bukankah ada kekuatan yang lebih besar dari Tuhan untuk menopang umat-Nya? Apalagi kalau puasanya cuma tidak makan siang saja, seharusnya tidak terlalu lemah.

Puasa bukan untuk menunggu makanan yang akan dimakan pada saat buka puasa, tapi puasa seharusnya untuk kemuliaan Tuhan. Kalau puasa hanya berfokus pada makanan untuk berbuka, maka puasa itu tidak ada gunanya. Seharusnya puasa bisa membawa orang yang melakukannya melihat kemuliaan Tuhan dan bisa puas meskipun tidak makan. Bagaimana caranya?

Puas ah
Orang yang berpuasa seharusnya menunjukkan kepuasan di dalam memuliakan Allah yang menuntun dan memelihara hidupnya, meskipun tidak makan dan minum. Itu sebabnya disuruh minyaki kepala dan cuci muka.
Kepuasan ini karena bergantung dan menikmati Allah. Selama ini kepuasannya hanya kepada makanan yang merupakan berkat2 Tuhan. Puasa melangkah lebih jauh dengan menikmati sumber berkat-Nya, yaitu Tuhan sendiri, dan kalau Ia masih memberikan makanan selanjutnya (buka puasa), seharusnya dipakai untuk memuliakan dan menikmati-Nya. Itu sebabnya, puasa seharusnya memuaskan dan bukan hanya pada saat buka puasa.

Puasa juga akan memberikan kepuasan karena upah yang sudah disediakan Tuhan. Tentu saja puasa tidak dilakukan demi untuk upah itu. Puasa seharusnya dilakukan karena sudah puas dengan semua pemberian yang Allah berikan, dan bukan untuk tuntutan agar bisa mendapatkan yang lebih banyak lagi. Puasa mendapatkan kepuasan, karena dalam puasa bisa melihat rencana Allah ketika hidup ini makin bergantung kepada-Nya. Bukankah bisa melihat rencana Allah dan bisa melakukannya mendatangkan kepuasan?!

Berbahagialah mereka yang puasa bukan untuk menunjukkan kewajiban agama seperti orang munafik, tapi yang bisa puas dalam segala keadaan, termasuk pada saat tidak bergantung kepada makanan, minuman dan segala berkat Tuhan, tapi bergantung kepada sumber berkat, yaitu Tuhan itu sendiri. Maka dalam puasa pun bisa merasakan puas ah!

Monday, July 28, 2008

Ask, Search and Find?!


7 "Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu. 8 Karena setiap orang yang meminta, menerima dan setiap orang yang mencari, mendapat dan setiap orang yang mengetok, baginya pintu dibukakan. 9 Adakah seorang dari padamu yang memberi batu kepada anaknya, jika ia meminta roti, 10 atau memberi ular, jika ia meminta ikan? 11 Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan yang baik kepada mereka yang meminta kepada-Nya."
Mat 7:7-11


Apa saja yang harus diminta?
Biasanya ayat ini suka ditafsirkan semaunya di luar konteks. Apa saja yang dipikirkan, semuanya akan diminta, terutama uang dan materi serta kesuksesan. Padahal dalam Mat 6:24, tidak boleh diperbudak oleh Mammon. Tapi, justru uang yang menjadi prioritas utama dan yang mungkin paling banyak diminta di dalam doa-doa orang percaya?!

Melihat konteks dekat di dalam perikopnya, memakai contoh soal meminta makanan. Maka makanan yang seharusnya diminta. Berdasarkan konteks dari Doa Bapa Kami, salah satu permintaan yang penting adalah makanan. Tapi berdasarkan Mat 6:25-34, kekuatiran akan makanan dan menjadi prioritas pencarian adalah salah satu ciri dari orang-orang yang tidak mengenal Allah. Tentu saja boleh diminta, tapi bukan dengan penuh kekuatiran.

Berdasarkan konteks Mat 7:7-11, khususnya ayat 11 menyatakan bahwa Bapa di Sorga akan memberikan yang baik kepada mereka yang meminta kepada-Nya. Maka seharusnya yang ditanyakan adalah apa saja yang baik yang harus diminta, dicari dan yang akan didapatkan?

Meminta, Mencari dan Mendapatkan yang baik
Untuk mengerti apa saja yang baik, maka kita harus melihat konteks dari kotbah di bukit. Yang harus diperhatikan pertama adlah tiga permintaan pertama di dalam Doa Bapa Kami, kekudusan nama Allah, Kerajaan Allah dan Kehendak Allah terjadi (Mat 6:9-10). Baru sesudah itu melihat tiga permintaan selanjutnya yang berhubungan dengan tiga permintaan pertama, makanan dan seluruh kebutuhan hidup, pengampunan dosa, serta pemeliharaan Allah (Mat 6:11-13).
Selanjutnya juga harus melihat Mat 6: 33, yaitu Kerajaan Allah dan kebenaran-Nya dengan janji semua kebutuhan akan ditambahkan (didapatkan).

Jadi, makanan dan seluruh kebutuhan hidup bukan yang menjadi pusat dari permintaan, pencarian dan yang harus didapatkan. Seharusnyapun semuanya itu diminta, dicari dan didapatkan untuk menggenapkan kehadiran Kerajaan Allah dan kebenaran-Nya yang menjadi pusat dan fokus semua permintaan, pencarian dan apa yang didapatkan.
Jika semua kebutuhan itu diminta, dicari dan didapatkan bukan untuk Kerajaan Allah dan kebenaran-Nya maka menjadi sama persis dengan orang-orang yang tidak mengenal Allah.

Yang baik itu di dalam sudut pandang Bapa yang tahu apa yang terbaik bagi anak-anak-Nya. Kita tidak pernah bisa melihat big picture, tapi Bapa bisa melihatnya. Sehingga yang baik itu harus selalu dari sudut kehendak-Nya dan bukan kehendak kita. Kita lebih menyukai batu dibandingkan roti. Dan bahkan meminta ular dibandingkan dengan ikan. Tapi dari sudut pandang kita, mungkin kelihatannya baik. Itu sebabnya kehendak Allah yang harus menjadi lebih utama dan bukan keinginan kita yang seolah-olah ingin menyesuaikan dengan kehendak Allah.

Meminta, mencari dan mendapatkan yang baikpun perlu pembelajaran. Pembelajaran ini bukan hanya untuk sehari, tapi pembelajaran seumur hidup dan setiap saat. Karena setiap hari kita sedang ditipu oleh Iblis dengan berbagai macam permintaan dan ketidakpuasan. Dan anehnya, kita lebih percaya kepadanya daripada perkataan2 dalam firman-Nya. Sama seperti orang-orang yang tidak mengenal Allah dan tidak memiliki Firman, banyak orang percaya ditipu untuk meminta, mencari dan mendapatkan semua keinginannya.

Pernahkah Anda meminta, mencari dan mendapatkan yang baik untuk Kerajaan Allah dan kebenaran-NYa? Mintalah dari sekarang! Carilah, maka pasti akan mendapatkannya!

Jikalau kamu tinggal di dalam Aku dan firman-Ku tinggal di dalam kamu, mintalah apa saja yang kamu kehendaki, dan kamu akan menerimanya.
Yoh 15:7


Monday, June 9, 2008

Kepastian ditengah Ketidakpastian Hidup

Minggu lalu diminta untuk mengkhotbahkan tema kepastian ditengah ketidakpastian hidup. Ada yang aneh dengan tema ini. Karena pemikiran awalnya adalah ketidakpastian hidup. Kenapa merasa hidup semakin tidak pasti, karena kenaikan harga Bahan Bakar Minyak, kenaikan berbagai macam kebutuhan pokok, tapi penghasilan belum naik-naik juga. Kalau yang merasa tidak pasti adalah orang-orang yang tidak mengenal Allah sih wajar, tapi kalau ini dipikirkan oleh orang-orang yang mengaku mengenal Allah, maka pasti ada yang salah.

25 "Karena itu Aku berkata kepadamu: Janganlah kuatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan atau minum, dan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai. Bukankah hidup itu lebih penting dari pada makanan dan tubuh itu lebih penting dari pada pakaian?...
32 Semua itu dicari bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah. Akan tetapi Bapamu yang di sorga tahu, bahwa kamu memerlukan semuanya itu....
Mat 6:25-34

Berhenti Kuatir! Mana Mungkin?
Mana mungkin berhenti kuatir, lagipula menguatirkan untuk berhenti kuatir sudah menambah kekuatiran. Seluruh dunia sedang resesi, bahkan negara-negara kaya dan majupun mulai kuatir, masakan kita tidak perlu kuatir?

Mungkin pikiran yang sama ada didalam murid-murid Tuhan Yesus yang hidup di negara yang waktu itu sedang dijajah oleh Romawi dengan penghasilan yang selalu harus dipotong oleh pemungut cukai yang tidak sedikit, ditambah dengan perpuluhan dan persembahan yang tidak habis2nya yang harus dibawa ke Bait Allah. Kalau situasi politik waktu itu tenang, mungkin masih OK. Tapi, saat itu sering terjadi pemberontakan, dan perampokan di tengah jalanpun itu sudah biasa. Lebih parah lagi, bangsa itu terus dijadikan perebutan oleh Syria, Mesir dan terakhir Romawi. Mereka sedang menunggu Messias untuk membebaskan mereka, tapi menurut mereka belum datang-datang juga. Bisakah untuk tidak kuatir??
Sang Messias sendiri yang mengatakan untuk berhenti kuatir! Hmmm..Pasti ada alasannya.

Tidak Mengenal Allah
Apa yang membuat manusia kuatir dalam hidup ini? Tidak bisa hidup? Karena tidak ada makanan dan pakaian maka tidak bisa hidup? Itu kekuatiran dari beberapa persen penduduk dunia ini yang sedang hidup dalam kelaparan. Tapi, apa yang menjadi kekuatiran dari orang-orang yang tidak kelaparan? Tidak ada jaminan masa depan? Tidak ada jaminan untuk tetap mempertahankan segala kesenangan dan kenikmatan? Lho, bukankah memang semuanya itu tidak bisa dipertahankan dan suatu saat pasti hilang?! Hanya tinggal menunggu waktu untuk menghadapi semuanya, karena semuanya sementara dan terakhir kita harus mati dan meninggalkan semuanya..
Kalau memang sudah pasti untuk kehilangan semuanya, mengapa harus kuatir dan merasa tidak pasti? Mengapa bukan mempersiapkan diri untuk kehilangan segala sesuatu dan menghadapi saat seperti itu? Bukankah itu lebih realistis?!

Orang-orang tidak mengenal Allah memperjuangkan hidup mereka sendiri karena mereka tidak mempunyai dan mengenal Allah yang menjamin hidup mereka. Itu sebabnya, bagi mereka hidup hanyalah masalah, makan, minum, fashion, segala kebutuhan dan kenikmatan untuk hidup. Dan semuanya memerlukan uang. Jadi mereka perlu jaminan politik yang baik, hukum yang baik, ekonomi yang baik dan segala ketenangan dan kenyamanan supaya bisa tetap mempertahankan dan bahkan meningkatkan segala keinginan untuk memuaskan diri. Ups.., tapi dunia ini tidak seindah yang mereka bayangkan. Segala sesuatu kelihatannya berubah ke arah yang negatif, tidak ada kepastian sama sekali, tidak ada pegangan...

Bagaimana dengan orang-orang yang mengenal Allah? Samakah? Atau ada perbedaan signifikan?!

Bapa di Sorga yang Jamin
Hidup di tengah keadaan dunia yang sama, harusnya tidak ada perbedaan antara orang yang mengenal Allah dan tidak mengenal Allah. Sama-sama menghadapi kesulitan dan resesi dunia. Apakah yang mebedakan orang percaya mendapatkan berkat-berkat dan jaminan sosial yang lebih banyak dari orang yang tidak mengenal Allah?

Jaminan kepastian hidup ini bukan di berkat-berkat pemberian Allah, tapi di dalm Allah sendiri. Bapa di Sorga yang mencipta, memelihara dan menyempurnakan adalah jaminanan yang pasti dalam hidup ini. Ia bukan hanya tahu apa yang menjadi kebutuhan kita, Ia memelihara hidup kita dan bahkan akan menyempurnakan segala sesuatu. Tidak ada jaminan lain dalam hidup ini.
Kalau seseorang melihat jaminan kepada benda2 mati (seluruh harta kita yang akan hilang), maka orang yang hidup itu bodoh sekali karena percya kepada benda mati. Kalau melihat jaminan kepada pemerintah yang tidak mengenal Allah untuk menjamin kestabilan segala sesuatu, maka sama bodohnya. Karena mereka juga sedang bingung dan tidak bisa memberi kepastian. Dan kalau bergantung kepada kita yang bisa berjuang untuk menghadapi hidup ini, kita terlalu kecil untuk menghadapi dunia ini.

Hanya Bapa di Sorga yang bisa jamin semuanya. Ia mengerti bagaimana memulai, memelihara dan mengakhiri semuanya. Maka, kenapa kita menuyusahkan diri dan mengkuatirkan akan segala sesuatu yang sudah disiapkan oleh Allah. Mengapa kita tidak percaya saja kepada-Nya yang lebih tau akan segala sesuatu? Mengapa kita mengkuatirkan dan bersusah payah untuk mencari sesuatu demi untuk mempertahankan hidup ini?
Bukankah yang seharusnya kita pikirkan adalah buat apa hidup ini? Mengapa ditengah kesulitan hidup ini kita masih hidup? Untuk apa hidup ini?

Jika Bapa sudah menjamin seluruh kebutuhan hidup kita, bukan hanya untuk masa depan yang sementara, tapi juga untuk hidup yang kekal, maka kita harus berhenti kuatir. Yang perlu, hanya percaya Bapa sudah menyediakan semuanya. Tinggal menunggu waktunya tiba. Yang lebih penting, bagaimana kita mempergunakan hidup ini. Tetap bekerja, bahkan bekerha lebih keras, bukan untuk mendapatkan tambahan dan jaminan hidup di dunia ini, tapi sebagai ucapan syukur karena penyertaan, pemeliharaan dan demi untuk memuliakan Dia, menyaksikan Allah yang kita kenal.

Berbahagialah orang-orang yang kepastian hidupnya bukan di dalam kesementaraan yang akan hilang dan keadaan yang terus berubah, tapi kepastiannya ada didalam Allah sendiri yang menjamin segala sesuatunya ada di dalam kontrol-Nya.

Soli Deo Gloria.

Monday, July 23, 2007

Garam Bumi - Terang Dunia

13 "Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang. 14 Kamu adalah terang dunia. Kota yang terletak di atas gunung tidak mungkin tersembunyi. 15 Lagipula orang tidak menyalakan pelita lalu meletakkannya di bawah gantang, melainkan di atas kaki dian sehingga menerangi semua orang di dalam rumah itu. 16 Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga."
Mat 5:13-16

Kamu adalah
Banyak orang Kristen tidak memperhatikan kalimat dari Tuhan Yesus. Ia bukan memerintahkan murid-muridNya untuk menjadi garam dan terang. Kalimat dari Tuhan Yesus bukan suatu perintah untuk menjadi, melainkan suatu pernyataan keberadaan dari murid-muridNya. Tuhan Yesus mengatakan, "Kamu adalah..." Artinya murid-murid Kristus tidak perlu untuk menginginkan dan berusaha menjadi garam dan terang, karena murid-murid Kristus sudah menjadi garam dan terang.
Banyak orang Kristen tidak menyadari akan hal ini karena merasa dirinya kurang bersaksi sehingga tidak menjadi garam dan terang. Sehingga ada sebagian yang ingin menjadi garam dan terang. Sehingga bisa bersaksi. Padahal kalau kita memperhatikan dengan baik kalimat Tuhan Yesus, itu bukan masalah menjadi atau tidak, melainkan berfungsi atau tidak. Garam tetap asin atau menjadi tawar; Terang bersinar atau ditutupi.
Maka kita harusnya menyadari keberadaan kita sebagai garam dan terang. Sambil kemudian memikirkan fungsi sebagai garam dan terang di tengah dunia ini. Karena jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan?

Garam Bumi
Di dalam Alkitab bahasa Yunani (GNT), kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia maka lebih tepat kalau dikatakan Garam Bumi/Tanah (Earth/Land). Karena kata yang dipakai berbeda dengan kata 'dunia' yang dipakai untuk terang dunia.
Garam di zaman dulu mempunyai beberapa fungsi:
- sebagai bumbu makanan (penyedap yang membuat makanan tidak hambar)
- sebagai pengawet makanan
- membuat tanah subur
Arti yang terakhir, sepertinya lebih cocok dipergunakan untuk maksud Tuhan Yesus kepada murid-muridNya. Murid-murid Tuhan Yesus adalah Garam Bumi, mempunyai fungsi untuk mempengaruhi masyarakat yang berdosa ini menjadi masyarakat dimana kebenaran bertumbuh dengan subur.
Maka, kemana saja murid-murid Kristus ditempatkan, masyarakat di situ akan melihat kebenaran. Bukan hanya menahan pembusukan dari dosa-dosa yang disebabkan oleh masyarakat yang berdosa, tetapi juga secara aktif membawa kebenaran yang berpusat kepada Kristus. Sang Garam tidak mempunyai pilihan, hanya bisa mengasinkan. Kalau tidak asin, maka garam sudah menjadi sama dengan tanah/bumi, tidak ada gunanya selain dibuang dan diinjak orang.
Saya percaya bahwa murid-murid Kristus tetap memiliki keasinanan, hanya saja seringkali orang-orang percaya lebih suka menjadi sama dengan bumi dan seringkali menyangka bahwa mereka harus menjadi sama dengan bumi daripada menyadari bahwa mereka adalah garam bumi. Sebagian lagi justru menghindar dari bumi (baca: masyarakat), karena ingin mempertahankan keasinan mereka dan berpikir bahwa bumi akan membuat mereka menjadi tawar. Tapi, garam bumi seharusnya tidak memisahkan diri dari bumi. Justru garam diperlukan untuk bumi. Jikalau memang asin, kenapa takut menjadi tawar?

Terang Dunia
Sama seperti garam yang berguna bagi kegersangan bumi, maka terangpun berguna untuk menyinari kegelapan dunia. Sebenarnya, lebih sulit menutupi terang dibadingkan dengan bersinar. Karena bersinar sudah menjadi bagian dari terang. Tidak perlu melakukan apa-apa lagi, pasti bersinar. Justru yang lebih menyulitkan ketika terang menutupi dirinya. Kegelapan tidak bisa menutupi terang. Ada hal-hal lain yang dipergunakan untuk menutupi terang itu.
Terang manusia seharusnya merupakan refleksi dari Kristus yang adalah Terang Dunia (Yoh 8:12). Tidak ada usaha lain yang dibutuhkan oleh manusia, hanya memancarkan terangnya yang berasala dari Yesus Kristus. Tetapi seringkali, manusia menutupi terang yang sesungguhnya dengan meninggikan dirinya (yang asalnya justru dari kegelapan) dibandingkan dengan menyatakan Kristus yang adalah Sumber Terang.
Memang orang-orang percaya sudah menjadi terang dunia. Tetapi, yang membuat orang percaya menjadi terang dunia adalah Kristus. Maka, ketika hanya berpusat kepada diri sendiri dan bukan Kristus yang menjadi pusat, sesungguhnya orang-orang percaya hanya menutupi terang.
Seandainya setiap orang percaya bersinar dan tidak menutupi terang itu, maka lebih banyak lagi orang yang akan memuliakan Bapa di Sorga.

Berbahagialah orang-orang percaya yang menyadari keberadaan dirinya sebagai garam bumi dan terang dunia, dan yang melaksanakan fungsinya dengan tidak lari dari bumi ini dan terus aktif memancarkan terang yang memuliakan Bapa di Sorga.

Tuesday, May 29, 2007

Apakah kalau saya sibuk maka saya melakukan kehendak Allah?

Di bulan ini saya mengalami kesibukan yang lebih dalam hal membawakan renungan dan kotbah. Bulan ini, saya berkotbah lebih dari 45 kali dalam satu bulan. Bagi sebagian orang terdengar fantastis, karena beberapa Pendeta yang sibuk mungkin cuma sekitar 20-30 kali sebulan.

Yang menjadi pergumulan dan pertanyaan saya, "Apakah kalau saya sibuk maka saya betul-betul dipakai oleh Tuhan? Apakah saya sedang melakukan kehendak Allah?"
Banyak orang pasti akan menjawab tergantung...
Pertanyaan ini muncul karena di satu gereja saya pernah melihat bahwa dipakai oleh Tuhan identik dengan banyak kotbah. Betulkah sibuk dalam pelayanan pasti identik dengan melakukan kehendak Tuhan?

21 Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga. 22 Pada hari terakhir banyak orang akan berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, bukankah kami bernubuat demi nama-Mu, dan mengusir setan demi nama-Mu, dan mengadakan banyak mujizat demi nama-Mu juga? 23 Pada waktu itulah Aku akan berterus terang kepada mereka dan berkata: Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari pada-Ku, kamu sekalian pembuat kejahatan!"
Mat 7:21-23

Ayat-ayat ini yang sering terbayang-bayang dalam pikiranku. Meskipun ayat ini ditujukan kepada orang-orang yang tidak percaya, tetapi memanfaatkan nama Yesus dan kuasanya. Namun demikian, ayat ini juga seharusnya berbicara bahwa bukan berapa banyak aktivitas kita yang menunjukkan bahwa kita sedang dipakai ataupun sedang melakukan kehendak Allah.

Kuantitas
Kalau seseorang hanya memiliki sedikit karunia, apakah wajar kalau ia bisa melakukan banyak hal? Sebaliknya, kalau seseorang memiliki banyak karunia, apakah wajar kalau ia hanya mengerjakan sedikit? Maka masing-masing harus mengenal diri dan melihat seberapa banyak karunia, talenta, dan berkat yang sudah Tuhan anugerahkan kepada kita.

Kualitas
Selain soal kuantitas, harusnya juga ada pertanyaan mengenai kualitas. Seberapa berkualitaskah talenta dan karunia yang Tuhan anugerahkan kepada kita? Dan seberapa berkualitaskah yang dikerjakan dan dipersembahkan untuk memuliakan Allah? Sebagian orang tertarik dengan kuantitas, ada lagi yang tertarik dengan kualitas dan menjadikan alasan untuk tidak melakukan banyak hal secara kuantitas.

Banyak orang tertarik dan kagum dengan kuantitas dan kualitas yang dimiliki oleh orang-orang tertentu. Tetapi jarang orang yang bisa melihat sesungguhnya berapa banyak kapasitas yang dimiliki oleh orang-orang itu dan seberapa banyak kuantitas dan kualitas yang seharusnya dilakukan.
Apalagi untuk melihat motivasi dibalik semua kelebihan yang kelihatan. Adakah semua itu untuk menggenapkan kehendak Allah, ataukah hanya sekedar meninggikan diri, menunjukkan kelebihan2 diri yang sesungguhnya adalah anugerah Allah!?

Banyak orang yang merasa sudah sibuk melakukan pelayanan, sebenarnya mungkin jauh dari kehendak Allah. Banyak berkotbah, mungkin hanya sekedar membagikan kebenaran2 yang didapatkan, sementara diri sendiri tidak pernah diubahkan melalui firman. Semakin sibuk melakukan 'pelayanan', malahan mungkin mengorbankan banyak hal yang harus dilayani tetapi mungkin tidak dianggap sepenting pelayanan utama yang dilakukan, misalnya berkotbah. Apakah betul semua kesibukan itu sedang menggenapkan kehendak Allah?

Maka, jangan-jangan orang yang sedang berlibur dan tidak bekerja sama sekali, mungkin lebih memuliakan Tuhan dibandingkan dengan orang-orang yang bekerja keras dalam pelayanan (yang biasanya menganggap dirinya lebih baik dibandingkan dengan orang-orang yang kelihatannya kurang melayani, kurang dipanggil dalam mengajar, berkotbah, memberitakan Injil, dan pelayanan-pelayanan yang lain).

Semoga yang mendapatkan kesempatan, karunia yang banyak, atau mendapatkan kuantitas dan kualitas lebih banyak dari orang lain tidak pernah menganggap diri lebih baik dari orang-orang lain. Karena semuanya anugerah, dan masing-masing ada tanggung jawab yang berbeda kepada Tuhan dan semuanya harus menggenapkan apa yang menjadi kehendak Allah. Semoga kemuliaan Allah yang terus bersinar, baik di dalam waktu-waktu sibuk maupun waktu-waktu luang.

Monday, April 23, 2007

Easy Divorce

Sama seperti perpecahan gereja, maka perceraianpun menjadi sesuatu yang lumrah dan bisa dimengerti di zaman ini. Nonton infotainment di televisi, bukan sesuatu yang aneh kalau melihat berita artis kawin-cerai. Menonton film dan drama Hollywood, kawin-cerai, bahkan free sex dan perselingkuhan sudah dianggap wajar oleh setiap orang yang biasa menontonnya. Otak kita sudah tidak lagi berespon dan menganggap hal itu sebagai sesuatu dosa yang sangat besar. Jauh sekali berbeda dengan 10-20 tahun yang lalu, yang melihat semuanya akan menjadi sesuatu yang mengagetkan.
Di dalam Kekristenanpun seringkali sudah dianggap wajar dan di dalam tahun-tahun yang akan datang, akan lebih banyak lagi ditemukan single mother, sama seperti yang sudah dialami oleh Amerika dan Eropa. Dan tentu saja kasus-kasus perselingkuhan dan perceraian yang akan memusingkan para pendeta dan majelis. Apakah ini dampak dari Tuhan Yesus yang menyetujui perceraian!?

31 Telah difirmankan juga: Siapa yang menceraikan isterinya harus memberi surat cerai kepadanya. 32 Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang menceraikan isterinya kecuali karena zinah, ia menjadikan isterinya berzinah; dan siapa yang kawin dengan perempuan yang diceraikan, ia berbuat zinah.
Mat 5:31-32

Ayat 31 adalah kutipan dari Ulangan 24:1-4. Dari sini sebenarnya kita bisa melihat konteks mengapa Tuhan Yesus menyebutkan kalimat ini. Orang Farisi menafsirkan perkataan Musa sebagai 'boleh cerai yang penting ada surat cerainya', penekanan mereka pada surat cerai yang melegalkan perceraian. Tapi, apa betul itu maksud dari Musa?
Kalau membaca keseluruhan dari Ul 24:1-4, penekanan Musa bukan pada surat cerai, justru akibat yang terjadi karena perceraian. Seorang pria yang sudah menceraikan isterinya tidak bisa lagi mendapatkan isterinya kembali. Maka, hati-hati kalau mau cerai karena akan kehilangan selamanya.

Itu sebabnya, Tuhan Yesus bukan membicarakan masalah surat, tetapi berbicara tentang akibat dari perceraian (bnd dgn Mat 19:1-12). Konteks saat itu, tidak ada wanita yang menceraikan suaminya. Hanya pria yang bisa menceraikan isterinya. Perceraian itu terjadi karena sang wanita berzinah. Maka kalu diceraikan, apapun alasannya, maka pasti dianggap karena sang wanita telah berzinah. Itu sebabnya akan membuat sang wanita menjadi pezinah, dan yang menikahinya selanjutnya akan menjadi pezinah juga.

Kalau dibandingkan dengan Mat 19:4-6, Tuhan Yesus memberikan dasar mengapa perceraian tidak boleh. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia. Tapi, mengapa masih terjadi banyak perceraian? Apakah manusia mempunyai kemampuan yang melebihi kuasa Allah yang mempersatukan? Hal ini dijawab oleh Tuhan Yesus di dalam Mat 19:8. Karena ketegaran hati manusia, karena manusia hanya melihat segala seuatu untuk dirinya, berpusat kepada dirinya, makanya Allah mengijinkan dan sebagian lagi dibiarkan untuk mengikuti nafsunya. Perceraian menjadi begitu gampang karena manusia tidak lagi melihatnya sebagai perjanjian dengan Allah, melainkan hanya sebagai suatu pilihan karena perasaan, keinginan, kenikmatan, nafsu ataupun keamanan diri sendiri.

Bagaimana dengan perzinahan yang memungkinkan adanya perceraian? Bukankah hal ini yang membuat perceraian makin banyak? Perzinahan terjadi karena manusia berbuat dosa. Sehingga perceraian pasti akan semakin banyak terjadi di dalam kehidupan dunia yang semakin berdosa. Maka, kalau Tuhan Yesus 'mengijinkan' perceraian karenan perzinahan, sebenarnya bukanlah membuka kesempatan kepada manusia untuk melihatnya sebagai kesempatan (ini yang dilihat oleh orang berdosa, karena memang menginginkannya), melainkan seharusnya dilihat sebagai ancaman kerusakan yang terjadi jikalau manusia hanya mengikuti keinginan hatinya yang tidak pernah puas dan melupakan perjanjian dengan Allah dalam pernikahan. Perzinahan membuat dua menjadi satu dicemari dan membatalkan ikatan perjanjian yang sudah dibuat. Perzinahan membatalkan janji kesetiaan yang sudah dibuat, karena perzinahan menunjukkan ketidaksetiaan yang merusak dasar pernikahan yang dibangun di atas janji kesetiaan kepada Allah dan pasangannya. Itu sebabnya, Tuhan Yesus bukan mengijinkan perceraian boleh karena perzinahan, melainkan perzinahan akan menyebakan perceraian karena ketegaran hati manusia yang menginginkannya.

Sesungguhnya jika kita setia kepada Tuhan yang selalu setia dan hidup bagi Dia, kita akan belajar tentang kesetiaan yang bisa dipraktekkan di dalam pernikahan. Tetapi manusia tidak selalu setia, itu sebabnya ancaman perceraian akan menjadi sangat gampang di dalam hidup pernikahan. Semoga masih ada anugerah kesetiaan dari Tuhan bagi pasangan2 yang ingin hidup bagi Tuhan dan bisa menjadi kesaksian yang baik bagi dunia yang berdosa dan tidak menghargai lagi kekudusan pernikahan.