Ayat Hari Ini:

Showing posts with label Matius 6. Show all posts
Showing posts with label Matius 6. Show all posts

Sunday, June 14, 2009

Uang (3): Tiga Penghambat

Lucu ketika melihat orang-orang yang mengaku beragama dan hanya memiliki satu Allah, tapi dalam praktek hidupnya menunjukkan kenyataan yang berbeda. Pusat hidup mereka bukan kepada kehendak dan keinginan Allah, meskipun mereka suka mengatakan dengan kalimat-kalimat yang manis di bibir. Hati mereka berpusat kepada materi, matapun selalu silau melihat cahaya materi dan bisa ditebak siapa tuan mereka sesungguhnya.

Pemberian-pemberian yang seharusnya membantu kita manusia untuk lebih berpusat kepada Sang Pencipta dan memuliakan-Nya, ternyata justru menuju ke arah yang berbeda karena hambatan-hambatan yang ada. Apa saja hambatannya?

21 Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada. 22 Mata adalah pelita tubuh. Jika matamu baik, teranglah seluruh tubuhmu; 23 jika matamu jahat, gelaplah seluruh tubuhmu. Jadi jika terang yang ada padamu gelap, betapa gelapnya kegelapan itu. 24 Tak seorangpun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian, ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon."
Matius 6:21-24


Salah Tempat (21)
Hati manusia seharusnya bukan berada di hartanya. Harta itu hanyalah benda mati yang seharusnya ditaklukkan dan dikelola manusia. Harta seharusnya bukan menjadi tujuan manusia yang membuat manusia harus terus memikirkannya dan meninggalkan kehidupannya di situ.

Ada lebih banyak hal dalam kehidupan ini yang lebih berharga dan bahkan tidak ternilai harganya bila dibandingkan dengan harta. Ketika hati hanya berada bersama-sama harta, maka kita sudah kehilangan berbagai macam hal yang berharga untuk dinikmati dan memuliakan Allah.
Dimana hatimu berada? Ujiannya, relakah kita meninggalkan harta kita dan tidak memikirkannya? Ujian yang lebih berat lagi, relakah kita mempersembahkan semua harta kita?

Mengapa hati bisa berada bersama-sama harta? Kata pepatah, dari mata turun ke hati.

Salah Lihat (22-23)
Mata yang seharusnya diciptakan untuk melihat kebaikan dan dipergunakan untuk kebaikan, ternyata menyesatkan hidup manusia sejak jatuh dalam dosa. Penipuan dari Iblis membuat umat manusia tidak bisa lagi menghargai yang terang, baik dan berharga dari Tuhan. Manusia dalam kegelapannya, hanya ingin melihat yang memuaskan dan dianggap bisa menjamin hidupnya, yaitu uang.

Itu sebabnya orang bisa gelap mata ketika berhadapan dengan uang. Bahkan saudarapun bisa bunuh-bunuhan jika sudah berbicara tentang harta dan uang. Betapa gelapnya kegelapan itu.

Demi untuk harta, banyak orang yang merelakan apa saja bahkan dirinya sendiripun. Banyak orang yang sudah merendahkan dirinya sedemikian rupa dibawah kekuasaan harta yang adalah benda mati. Mengapa sampai manusia bisa salah melihat dan matanya menjadi gelap dan hanya melihat materi yang bisa memberikan kehidupan bagi dirinya?

Ada masalah yang lebih mendasar yang membuat manusia salah melihat dan bermata gelap.

Salah Mengabdi (24)
Ketika manusia menganggap Mamon itu tuannya dan menjadi tujuan hidup di dunia, maka gelaplah matanya dan membuat hatinya berada di mana hartanya berada.

Kesalahan mengabdi karena permasalahan iman. Allah yang harusnya dikasihi dan yang bisa menjamin hidup manusia yang membuat manusia ingin terus melayani-Nya, dalam kenyataan hidup ini sering terlihat begitu abstrak dan jauh dari memuaskan keinginan manusia yang berdosa. Ia tidak memberikan dengan secepatnya yang kita inginkan. Bahkan lebih sering lagi Ia tidak memberikan yang kita inginkan dan kita minta. Allah tidak bisa diatur!

Berbeda dengan Mamon. Ketika seseorang mengabdi kepada materi. Kelihatannya ada jaminan yang lebih nyata untuk masa depan, untuk membeli segala sesuatu yang diinginkan hatinya dan bisa diatur mengikuti keinginan hatinya yang berdosa. Jauh sekali berbeda dengan Allah! Itu sebabnya manusia lebih suka menyembah yang bisa diatur dan memuaskan keinginannya yang berdosa.

Karena hidupnya mengabdi kepada Mamon, maka yang dilihat semuanya berdasarkan sudut pandang kegelapan dan membuat hatinya berada bersama hartanya.

Berbeda dengan orang-orang yang mengabdi hanya kepada Allah. Harta tidak akan membuat matanya menjadi gelap dan hanya melihat hidup dari sudut pandang uang. Hatinya tidak akan berada bersama harta di bumi yang akan hilang. Tapi hatinya akan bersama-sama Allah di sorga yang mempunyai segala harta yang lebih agung, suci, mulia dan indah.
Berbahagialah orang-orang yang percaya kepada Allah. Karena dengan mata kita akan meilhat kemuliaan yang sejati dan hati kita akan puas dengan Allah dengan berkat-berkat-Nya.

Friday, June 12, 2009

Uang (2): Tiga Pembelajaran

Setiap orang yang hidup di dunia ini diberikan kesempatan dan berkat oleh Allah. Ia meminjamkan banyak hal kepada kita dalam hidup ini. Masalahnya, apakah kita mengerti dan bisa melihat semua anugerah dan pemberian-Nya? Adakah kita belajar mempergunakan-Nya? Adahkah ilmu ekonomi membuat kita bijaksana meliaht uang dan harta pemberian Allah?

19 "Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi; di bumi ngengat dan karat merusakkannya dan pencuri membongkar serta mencurinya. 20 Tetapi kumpulkanlah bagimu harta di sorga; di sorga ngengat dan karat tidak merusakkannya dan pencuri tidak membongkar serta mencurinya.
Mat 6:19-20

Hidup di dunia yang sementara ini setidak-tidaknya harus belajar tiga hal. Bisa saja terlalu menyederhanakan karena kita hidup di dalam kehidupan yang kompleks dan rumit. Banyak hal yang harus kita pelajari dalam hidup. Tapi setidak-tidaknya, ada tiga hal yang mendasar berhubungan dengan materi dan berkat pemberian Allah kepada kita.

Belajar Dapat
Dalam ilmu ekonomi mengajarkan hal ini sebagai modal awal, dan selanjutnya dipakai untuk mendapatkan keuntungan. Bagaimana dengan modal yang ada bisa mendapatkan keuntungan sebanyak mungkin? Hal ini yang terus dipelajari manusia.

Banyak orang berpikir hidup itu belajar mengumpulkan dan mencari harta, kemudian menghabiskan waktu hidupnya hanya untuk mencari dan mendapatkan yang diinginkannya. Dan dunia sering menyimpulkan bahwa orang-orang yang berhasil mengumpulkan harta sangat banyak adalah orang2 kaya. Tapi Alkitab justru mengatakan bahwa kita dapat semuanya karena anugerah. Yang kaya siapa? Yang memberi!
Hanya orang-orang yang tidak mengerti dari siapa Ia mendapatkan pinjaman harta untuk didunia ini yang begitu sombong dengan kekayaan yang seolah2 akan tetap jadi miliknya selama-lamanya.

Maka pembelajaran pertama ini seharusnya sangat gampang, jika kita percaya hidup sementara dan hidup kekal adalah anugerah Tuhan. Kita adalah orang-orang kaya, karena sang Pemberi hidup dalam hidup kita tapi kita tidak bisa sombong karena semuanya anugerah. Kita tidak perlu memfokuskan perhatian kepada bagaimana cara mendapatkannya, karena sudah dijamin oleh anugerah dari Sang Pemberi yang Maha Pemurah yang hidup dalam hidup kita. Fokus kita harus berpindah pada pembelajaran selanjutnya.

Belajar Pakai, Kelola dan Distribusi
Dalam ilmu ekonomi mengajarkan bagaimana alur distribusi dari produsen kepada konsumen. Bagaimana memproduksi dengan baik, mendistribusikannya dengan baik juga dan menggunakan iklan supaya bisa lebih banyak konsumen yang mempergunakan dan membuat produksi akan meningkat.

Pelajaran kedua ini lebih sulit. Karena disini terletak lika-liku dan seninya hidup. Itu sebabnya kita harus belajar dari kecil untuk mengerti dan bersiap untuk menggunakan semua pemberian Tuhan, mengelola, mengembangkan dan mendistribusikannya dengan baik. Hanya sedikit orang di dunia ini yang betul2 belajar di tahap ini. Dunia ini biasanya mengatakan orang-orang ini adalah orang2 sukses. Orang-orang yang bisa mengelola, mengembangkan dan menikmati hasil dari kerja kerasnya.

Alkitab mengajarkan kepada kita dari perumpamaan tentang talenta. Menyadari pemberian sang Tuan, mengelola dan mengembangkan sampai maksimal untuk dipersembahkan kepada sang Tuan yang sudah meminjamkan harta-Nya.
Fokus orang percaya, bagaimana memakai harta pemberian Allah, mengelola, mengembangkan dan mendistribusikannya dengan baik dan bijaksana. Kita tidak diberikan talenta (uang) untuk disimpan sendiri dan terus kuatir dengan dunia ini dan kecewa dengan Sang Tuan yang hanya memberikan sedikit kepada kita. Ia mempercayakan kepada kita biar kita bisa mewakili Dia di dunia ini dalam menaklukkan dan mengelola harta-Nya demi untuk kemuliaan-Nya.

Tapi pembelajaran di dunia belum selesai sampai tahap kedua. Masih ada tahap selanjutnya yang lebih sulit dan mungkin mengecewakan bagi sebagian besar manusia.

Belajar Hilang
Di dalam ekonomi dikenal dengan nama krisis ekonomi, seperti yang dialami oleh dunia sekarang ini. Ataupun juga suka dianggap sebagai kerugian. Ekonomi hanya mengajarkan bagaimana menghindar dari segala krisis dan mencoba membereskan segala kerugian biar bisa mendaptkan keuntungan.

Dunia secara umum menyebutnya kegagalan, atau kalau belum sampai kepada kematian dianggap sebagai sukses yang tertunda. Tapi, kalau sampai mati dianggap sebagai kemalangan, musibah ataupun tragedi yang harus ditangisi dan disesali ataupun dikasihani.
Suka tidak suka, inilah pembelajaran terakhir yang harus dipelajari manusia karena semuanya akan hilang. Celakanya, dunia hanya mengajarkan bagaimana cara menghindar dari keterhilangan.
Asuransi menjamur dimana-mana untuk mempersiapkan seandainya mengalami kehilangan ataupun kerugian.

Bagi orang percaya, Alkitab sudah memberikan cara untuk belajar hilang dengan pengorbanan dan mempersembahkan semuanya. Tuhan Yesus mengajarkan persebahan diri dan memuji janda yang mempersembahkan seluruh penghasilannya. Persembahan mengajarkan bagaimana kita menghadapi dan bersiap untuk kehilangan.
Semua yang kita pikir harta dan milik kita, sesungguhnya bukanlah milik kita. Hanya dipinjamkan dan dipercayakan kepada kita untuk kelola-pakai-distribusi sampai waktu yang ditentukan secara sepihak oleh Sang Pemilik.

Jadi sebelum semuanya itu akan hilang, bagaimana memakai dan mempergunakannya? Bisakah dengan harta itu membuat harta di sorga makin bertambah? Atau mungkinkah dengan kehilangan harta di bumi justru bisa mengumpulkan harta di sorga? Kita harus bergumul dihadapan Allah untuk mengerti kehendak-Nya dan tahu cara memanfaatkan semua anugerah-Nya.

Wednesday, June 10, 2009

Uang (1): Dikumpulin untuk apa?

Ada banyak perkataan Tuhan Yesus yang sangat luar biasa. Bagi orang percaya, dari sekian banyak perkataan itu bisa dipercayai dan diimani. Tapi kalau sudah berbicara soal harta dan perintah-Nya soal jangan kumpulkan harta di bumi, maka perkataan ini menjadi sulit untuk dipercayai. Jikalau kita punya banyak harta, maka tiba-tiba bisa amnesia dan seolah-olah tidak tahu-menahu tentang ayat itu. Berbagai pertanyaan langsung muncul dalam hati: Betulkah Tuhan Yesus memang bermaksud mengatakan jangan kumpulkan harta? Apakah artinya juga jangan nabung? Masa sih begitu?

19 "Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi; di bumi ngengat dan karat merusakkannya dan pencuri membongkar serta mencurinya. 20 Tetapi kumpulkanlah bagimu harta di sorga; di sorga ngengat dan karat tidak merusakkannya dan pencuri tidak membongkar serta mencurinya.
Mat 6:19-20

Kumpul dan Pakai
Kalau hanya melihat di ayat 19, maka harus diambil kesimpulan tidak boleh mengumpulkan harta. Tetapi jikalau dilihat sampai dengan ayat 20, maka justru kesimpulannya harus kumpulkan harta. Meskipun yang disuruh dikumpulkan itu harta di sorga. Artinya, yang menjadi pusat sebenarnya bukan di jangan mengumpulkan harta di bumi, tapi soal kumpulkan harta di sorga.

Mengapa sampai Tuhan Yesus melarang mengumpulkan harta di bumi? Mengumpulkan harta di bumi adalah pekerjaan sia-sia. Karena semua yang dikumpulkan adalah anugerah dan pemberian yang dipinjamkan dari Allah untuk dikelola, dikembangkan dan dipergunakan. Itu sebabnya, hidup yang hanya bertujuan untuk mengumpulkan harta adalah hidup yang tidak berguna dan sia-sia. Semua sudah disediakan oleh Allah, tidak dikejarpun akan diberi, sudah disiapkan pada waktunya.

Tujuan hidup kita di dunia bukan untuk mengumpulkan harta di bumi, karena sudah ada semuanya. Yang lebih penting, bagaimana mempergunakan harta yang sekarang ada. Apakah kita bisa memakainya dengan benar, bisakah kita mengelola dan mendistribusikannya untuk kemuliaan Allah? Kalau kita tahu caranya, maka kita sedang mengumpulkan harta di sorga.
Kalau tujuan mengumpulkan harta di bumi hanya demi untuk masa depan, maka artinya lebih mempercayai harta yang menjamin masa depan dan bukan Allah yang menyediakan semuanya.

Jadi, bukan bagaimana mencari dan mengumpulkan harta yang menjadi pusat hidup manusia. Tapi, bagaimana mempergunakannya, mengelola, memakai dan mendistribusikannya untuk menyaksikan dan memuliakan Allah yang sudah meminjamkan dan mempercayakan kepada kita talenta (uang) yang tidak layak kita terima. Itu yang bisa membuat harta dikumpulkan di sorga.

Sementara dan Kekal
Sebagian orang mungkin menganggap kalimat Tuhan Yesus tidak lagi relevan untuk zaman sekarang ini. Kalimat-Nya hanya cocok untuk zaman dulu yang menyimpan uang di rumahnya sendiri. Sekarang ini, uang bisa disimpan di bank (begitu juga dengan barang dan surat berharga), tidak ada karat dan tidak rusak (rusakpun bisa diganti oleh bank). Kalaupun pencuri mencuri uang di bank, tetap saja uang nasabah diganti oleh bank. Begitu juga dengan harta yang ada, dengan adanya asuransi hilangpun bisa diganti.

Meskipun demikian, kalau dilihat dengan teliti dan menangkap prinsipnya, maka kalimat Tuhan Yesus tetap relevan. Karena yang dimaksudkan-Nya bahwa harta di bumi itu cuma sementara dan akan hilang. Beda dengan harta di sorga yang sifatnya kekal.
Itu sebabnya, visi manusia seharusnya bersifat kekal dan bukan hanya untuk sementara. Karena kalau hanya melihat yang sementara dan bertujuan hanya untuk kesementaraan, maka akan diakhiri dengan kehilangan dan kesia-siaan. Mengapa tidak menghidupi kesementaraan ini dari sudut pandang kekekalan? Bukankah kesementaraan ini adalah persiapan untuk kekekalan?

Jika harta yang sementara hanya dicari dan dikumpulkan untuk hidup yang sementara, maka artinya harta itu tidak ada gunanya bagi hidup yang bersiap untuk kekekalan dan bahkan hanya jadi penghambat yang menghabiskan waktu, tenaga, pikiran, emosi dan hidup itu sendiri.

Sesungguhnya Allah yang begitu baik sudah memberikan terlalu banyak harta kepada kita. Bersyukurlah kepada Allah yang sudah memberikan begitu banyak harta dan berkat kepada kita. Kelolalah dengan benar, kembangkan dengan maksimal, pakailah dengan bijaksana, muliakanlah Allah dengan harta pemberian-Nya, bersiaplah untuk mempersembahkan semuanya kembali kepada yang memberikan pinjaman dan kumpulkanlah harta di Sorga.

Monday, September 8, 2008

Puasa dan Puas ah!

Di dalam kekristenan, puasa seringkali dijadikan alat untuk membuat seseorang terlihat lebih rohani. Seseorang yang ingin melakukan sesuatu yang menurutnya berharga, ataupun seringkali ingin mendapatkan sesuatu yang digumulkan, seringkali menambahkan elemen puasa untuk mencapai tujuannya.
Bahkan seseorang yang puasa, kadang2 mencoba menunjukkan bahwa dirinya sedang puasa dan bergumul. Betulkah puasa sudah mencapai tujuan yang sebenarnya? Bagaimana pandangan Tuhan Yesus tentang puasa?

16 "Dan apabila kamu berpuasa, janganlah muram mukamu seperti orang munafik. Mereka mengubah air mukanya, supaya orang melihat bahwa mereka sedang berpuasa. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya. 17 Tetapi apabila engkau berpuasa, minyakilah kepalamu dan cucilah mukamu, 18 supaya jangan dilihat oleh orang bahwa engkau sedang berpuasa, melainkan hanya oleh Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu."
Mat 6:16-18

Dalam Matius 6:1, Tuhan Yesus berkata, "Ingatlah, jangan kamu melakukan kewajiban agamamu di hadapan orang supaya dilihat mereka, karena jika demikian, kamu tidak beroleh upah dari Bapamu yang di sorga." Kemungkinan besar karena banyak orang yang mengaku beragama sengaja menunjukkan dan memperlihatkan kewajiban agama biar dikagumi banyak orang. Menurut Tuhan Yesus, itu adalah orang munafik.

Orang Munafik
Orang munafik sengaja melakukan kewajiban agamanya demi untuk kemuliaan dan kebanggaan dirinya. Mereka ingin menunjukkan bahwa mereka orang yang beragama, jadi mereka puasa. Biasanya itu kelihatan dari fisik dan tingkah laku mereka yang menjadi berbeda, lebih lemah dan minta dikasihani.

Puasa bagi orang munafik demi untuk mendapatkan upah bagi dirinya. Menurut Tuhan Yesus, mereka sudah mendapatkannya. Mereka sudah mendapatkan keinginan mereka untuk dilihat banyak orang bahwa mereka berpuasa dan melakukan kewajiban agamanya.

Bagi orang-orang tertentu, puasa mereka tidak boleh diganggu oleh siapapun dan apapun. Tidak boleh ada yang makan di depan mereka, tidak boleh ada yang membuat mereka menjadi nafsu, dll. Kalau begitu, buat apa mereka berpuasa kalau semuanya memang sudah dihilangkan?

Puasa Seharusnya
Puasa seharusnya tetap menghadapi kenyataan dan problem yang sama dengan hidup sehari-hari. Bukan keadaan luar yang dibuat lebih mudah demi untuk puasa. Tapi keadaan di dalam hati yang seharusnya berubah, yang selama ini terlalu bergantung kepada yang diluar.

Begitu juga dengan penampilan fisik dan aktivitas. Puasa seharusnya tidak membuat fisik menjadi terlihat lemah dan patut dikasihani, karena terlalu lemah. Sebaliknya Tuhan Yesus mengajarkan seseorang untuk mencuci muka dan meminyaki kepala, yang menunjukkan keadaan yang tetap baik dan bersukacita.
Puasa juga seharusnya tidak menghalangi dan mengurangi seseorang untuk melakukan segala aktivitasnya. Karena puasa menunjukkan kebergantungan kepada Tuhan. Jika benar2 bergantung kepada Tuhan, bukankah ada kekuatan yang lebih besar dari Tuhan untuk menopang umat-Nya? Apalagi kalau puasanya cuma tidak makan siang saja, seharusnya tidak terlalu lemah.

Puasa bukan untuk menunggu makanan yang akan dimakan pada saat buka puasa, tapi puasa seharusnya untuk kemuliaan Tuhan. Kalau puasa hanya berfokus pada makanan untuk berbuka, maka puasa itu tidak ada gunanya. Seharusnya puasa bisa membawa orang yang melakukannya melihat kemuliaan Tuhan dan bisa puas meskipun tidak makan. Bagaimana caranya?

Puas ah
Orang yang berpuasa seharusnya menunjukkan kepuasan di dalam memuliakan Allah yang menuntun dan memelihara hidupnya, meskipun tidak makan dan minum. Itu sebabnya disuruh minyaki kepala dan cuci muka.
Kepuasan ini karena bergantung dan menikmati Allah. Selama ini kepuasannya hanya kepada makanan yang merupakan berkat2 Tuhan. Puasa melangkah lebih jauh dengan menikmati sumber berkat-Nya, yaitu Tuhan sendiri, dan kalau Ia masih memberikan makanan selanjutnya (buka puasa), seharusnya dipakai untuk memuliakan dan menikmati-Nya. Itu sebabnya, puasa seharusnya memuaskan dan bukan hanya pada saat buka puasa.

Puasa juga akan memberikan kepuasan karena upah yang sudah disediakan Tuhan. Tentu saja puasa tidak dilakukan demi untuk upah itu. Puasa seharusnya dilakukan karena sudah puas dengan semua pemberian yang Allah berikan, dan bukan untuk tuntutan agar bisa mendapatkan yang lebih banyak lagi. Puasa mendapatkan kepuasan, karena dalam puasa bisa melihat rencana Allah ketika hidup ini makin bergantung kepada-Nya. Bukankah bisa melihat rencana Allah dan bisa melakukannya mendatangkan kepuasan?!

Berbahagialah mereka yang puasa bukan untuk menunjukkan kewajiban agama seperti orang munafik, tapi yang bisa puas dalam segala keadaan, termasuk pada saat tidak bergantung kepada makanan, minuman dan segala berkat Tuhan, tapi bergantung kepada sumber berkat, yaitu Tuhan itu sendiri. Maka dalam puasa pun bisa merasakan puas ah!

Monday, June 9, 2008

Kepastian ditengah Ketidakpastian Hidup

Minggu lalu diminta untuk mengkhotbahkan tema kepastian ditengah ketidakpastian hidup. Ada yang aneh dengan tema ini. Karena pemikiran awalnya adalah ketidakpastian hidup. Kenapa merasa hidup semakin tidak pasti, karena kenaikan harga Bahan Bakar Minyak, kenaikan berbagai macam kebutuhan pokok, tapi penghasilan belum naik-naik juga. Kalau yang merasa tidak pasti adalah orang-orang yang tidak mengenal Allah sih wajar, tapi kalau ini dipikirkan oleh orang-orang yang mengaku mengenal Allah, maka pasti ada yang salah.

25 "Karena itu Aku berkata kepadamu: Janganlah kuatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan atau minum, dan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai. Bukankah hidup itu lebih penting dari pada makanan dan tubuh itu lebih penting dari pada pakaian?...
32 Semua itu dicari bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah. Akan tetapi Bapamu yang di sorga tahu, bahwa kamu memerlukan semuanya itu....
Mat 6:25-34

Berhenti Kuatir! Mana Mungkin?
Mana mungkin berhenti kuatir, lagipula menguatirkan untuk berhenti kuatir sudah menambah kekuatiran. Seluruh dunia sedang resesi, bahkan negara-negara kaya dan majupun mulai kuatir, masakan kita tidak perlu kuatir?

Mungkin pikiran yang sama ada didalam murid-murid Tuhan Yesus yang hidup di negara yang waktu itu sedang dijajah oleh Romawi dengan penghasilan yang selalu harus dipotong oleh pemungut cukai yang tidak sedikit, ditambah dengan perpuluhan dan persembahan yang tidak habis2nya yang harus dibawa ke Bait Allah. Kalau situasi politik waktu itu tenang, mungkin masih OK. Tapi, saat itu sering terjadi pemberontakan, dan perampokan di tengah jalanpun itu sudah biasa. Lebih parah lagi, bangsa itu terus dijadikan perebutan oleh Syria, Mesir dan terakhir Romawi. Mereka sedang menunggu Messias untuk membebaskan mereka, tapi menurut mereka belum datang-datang juga. Bisakah untuk tidak kuatir??
Sang Messias sendiri yang mengatakan untuk berhenti kuatir! Hmmm..Pasti ada alasannya.

Tidak Mengenal Allah
Apa yang membuat manusia kuatir dalam hidup ini? Tidak bisa hidup? Karena tidak ada makanan dan pakaian maka tidak bisa hidup? Itu kekuatiran dari beberapa persen penduduk dunia ini yang sedang hidup dalam kelaparan. Tapi, apa yang menjadi kekuatiran dari orang-orang yang tidak kelaparan? Tidak ada jaminan masa depan? Tidak ada jaminan untuk tetap mempertahankan segala kesenangan dan kenikmatan? Lho, bukankah memang semuanya itu tidak bisa dipertahankan dan suatu saat pasti hilang?! Hanya tinggal menunggu waktu untuk menghadapi semuanya, karena semuanya sementara dan terakhir kita harus mati dan meninggalkan semuanya..
Kalau memang sudah pasti untuk kehilangan semuanya, mengapa harus kuatir dan merasa tidak pasti? Mengapa bukan mempersiapkan diri untuk kehilangan segala sesuatu dan menghadapi saat seperti itu? Bukankah itu lebih realistis?!

Orang-orang tidak mengenal Allah memperjuangkan hidup mereka sendiri karena mereka tidak mempunyai dan mengenal Allah yang menjamin hidup mereka. Itu sebabnya, bagi mereka hidup hanyalah masalah, makan, minum, fashion, segala kebutuhan dan kenikmatan untuk hidup. Dan semuanya memerlukan uang. Jadi mereka perlu jaminan politik yang baik, hukum yang baik, ekonomi yang baik dan segala ketenangan dan kenyamanan supaya bisa tetap mempertahankan dan bahkan meningkatkan segala keinginan untuk memuaskan diri. Ups.., tapi dunia ini tidak seindah yang mereka bayangkan. Segala sesuatu kelihatannya berubah ke arah yang negatif, tidak ada kepastian sama sekali, tidak ada pegangan...

Bagaimana dengan orang-orang yang mengenal Allah? Samakah? Atau ada perbedaan signifikan?!

Bapa di Sorga yang Jamin
Hidup di tengah keadaan dunia yang sama, harusnya tidak ada perbedaan antara orang yang mengenal Allah dan tidak mengenal Allah. Sama-sama menghadapi kesulitan dan resesi dunia. Apakah yang mebedakan orang percaya mendapatkan berkat-berkat dan jaminan sosial yang lebih banyak dari orang yang tidak mengenal Allah?

Jaminan kepastian hidup ini bukan di berkat-berkat pemberian Allah, tapi di dalm Allah sendiri. Bapa di Sorga yang mencipta, memelihara dan menyempurnakan adalah jaminanan yang pasti dalam hidup ini. Ia bukan hanya tahu apa yang menjadi kebutuhan kita, Ia memelihara hidup kita dan bahkan akan menyempurnakan segala sesuatu. Tidak ada jaminan lain dalam hidup ini.
Kalau seseorang melihat jaminan kepada benda2 mati (seluruh harta kita yang akan hilang), maka orang yang hidup itu bodoh sekali karena percya kepada benda mati. Kalau melihat jaminan kepada pemerintah yang tidak mengenal Allah untuk menjamin kestabilan segala sesuatu, maka sama bodohnya. Karena mereka juga sedang bingung dan tidak bisa memberi kepastian. Dan kalau bergantung kepada kita yang bisa berjuang untuk menghadapi hidup ini, kita terlalu kecil untuk menghadapi dunia ini.

Hanya Bapa di Sorga yang bisa jamin semuanya. Ia mengerti bagaimana memulai, memelihara dan mengakhiri semuanya. Maka, kenapa kita menuyusahkan diri dan mengkuatirkan akan segala sesuatu yang sudah disiapkan oleh Allah. Mengapa kita tidak percaya saja kepada-Nya yang lebih tau akan segala sesuatu? Mengapa kita mengkuatirkan dan bersusah payah untuk mencari sesuatu demi untuk mempertahankan hidup ini?
Bukankah yang seharusnya kita pikirkan adalah buat apa hidup ini? Mengapa ditengah kesulitan hidup ini kita masih hidup? Untuk apa hidup ini?

Jika Bapa sudah menjamin seluruh kebutuhan hidup kita, bukan hanya untuk masa depan yang sementara, tapi juga untuk hidup yang kekal, maka kita harus berhenti kuatir. Yang perlu, hanya percaya Bapa sudah menyediakan semuanya. Tinggal menunggu waktunya tiba. Yang lebih penting, bagaimana kita mempergunakan hidup ini. Tetap bekerja, bahkan bekerha lebih keras, bukan untuk mendapatkan tambahan dan jaminan hidup di dunia ini, tapi sebagai ucapan syukur karena penyertaan, pemeliharaan dan demi untuk memuliakan Dia, menyaksikan Allah yang kita kenal.

Berbahagialah orang-orang yang kepastian hidupnya bukan di dalam kesementaraan yang akan hilang dan keadaan yang terus berubah, tapi kepastiannya ada didalam Allah sendiri yang menjamin segala sesuatunya ada di dalam kontrol-Nya.

Soli Deo Gloria.