Ayat Hari Ini:

Showing posts with label Yakobus. Show all posts
Showing posts with label Yakobus. Show all posts

Friday, February 19, 2010

Iman yang Sempurna

Berbicara tentang iman dalam kitab Yakobus, seringkali menjadi perdebatan. Karena Yakobus seringkali dianggap bertentangan dengan apa yang ditulis oleh Paulus dalam Efesus 2. Rasul Paulus berbicara tentang keselamatan melalui iman dan tidak ada perbuatan manusia. Sedangkan Yakobus berbicara bahwa iman tidak cukup, harus ditambahkan dengan perbuatan. Apakah Yakobus berbicara dalam konteks yang sama dengan yang dibicarakan Paulus? Apakah Yakobus memang menegaskan kalau seseorang harus diselamatkan melalui iman + perbuatan?

...17 Demikian juga halnya dengan iman: Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati. 18 Tetapi mungkin ada orang berkata: "Padamu ada iman dan padaku ada perbuatan", aku akan menjawab dia: "Tunjukkanlah kepadaku imanmu itu tanpa perbuatan, dan aku akan menunjukkan kepadamu imanku dari perbuatan-perbuatanku." ... 22 Kamu lihat, bahwa iman bekerjasama dengan perbuatan-perbuatan dan oleh perbuatan-perbuatan itu iman menjadi sempurna. ...
Yakobus 2:14-26

Konteks: Soal Keselamatan?
Membaca Yak 2:14 ( Apakah gunanya, saudara-saudaraku, jika seorang mengatakan, bahwa ia mempunyai iman, padahal ia tidak mempunyai perbuatan? Dapatkah iman itu menyelamatkan dia?) secara sepintas, maka banyak orang akan mengambil kesimpulan bahwa Yakobus sedang berbicara tentang keselamatan. Khususnya karena pertanyaan yang meragukan iman tanpa perbuatan bisa menyelamatkan seseorang. Betulkah itu maksud Yakobus?

Kalau diperhatikan dengan lebih teliti, maka yang dimaksudkan oleh Yakobus konteksnya bukan tentang iman pada saat diselamatkan, tapi kepada iman yang dipergunakan sesudah diselamatkan; 'iman itu' (dalam Yak 2:14,17,18) menunjuk kepada iman yang diakui oleh seseorang dimilikinya, tapi diragukan oleh Yakobus yang tidak melihatnya dalam perbuatan sehari-hari.

Jadi, yang dipersoalkan oleh Yakobus bukan bagaimana seseorang diselamatkan seperti yang dibahas oleh Paulus dalam Efesus 2. Yakobus sedang menyoroti penerapan dari iman yang menyelamatkan itu dalam perbuatan sehari-hari. Kita bisa melihat dengan lebih jelas dari contoh yang diberikan oleh Yakobus pada Yak 2:15-16.

Iman Yang Kosong
Dalam Yak 2:15-16, dengan iman seseorang mengatakan kepada saudaranya kenakan kain panas dan makan sampai kenyang, tapi ia tahu saudaranya itu tidak punya pakaian dan kekurangan makanan. Kalau betul2 beriman, seharusnya ditunjukkan dengan perbuatan membagi pakaian dan makanan, bukan hanya bicara dengan penuh iman. Menurut Yakobus, ini iman yang kosong.

Untuk mengerti lebih jelas tentang iman yang kosong, Yakobus memberikan contoh yang lain dalam ayat 19. Orang yang percaya hanya ada satu Allah, tidak lebih baik dari setan-setan yang juga percaya hanya ada satu Allah dan bahkan mereka gemetar.
Maksud Yakobus, seseorang yang mengatakan memiliki iman dan percaya kepada satu Allah belum membuktikan kebenarannya. Masih tetap iman yang kosong, kalau tidak ada perbuatan iman.

Iman yang Sempurna
Yakobus kemudian menjelaskan lebih jauh lagi tentang iman yang benar dengan memberikan dua contoh bagaimana seseorang dibenarkan karena perbuatan imannya.
Yang pertama, Abraham yang dikenal sebagai 'Bapa orang Beriman'; Yakobus menujukkan bagaimana perbuatan-perbuatan Abraham yang berdasarkan imannya. Ini baru iman yang sempurna.

Yang kedua, Rahab yang menunjukkan percaya kepada Allah Israel dan perbuatan-Nya yang ajaib, sehingga ia menyembunyyikan dua pengintai Israel di rumahnya. Yakobus ingin menunukkan bahwa perbuatan Rahab karena berasal dari iman.

Jadi, seseorang diselamatkan melalui iman dan tidak melibatkan perbuatan dan usaha manusia sedikitpun. Tapi kemudian sesudah diselamatkan, iman itu bukan iman yang kosong yang hanya ada dalam pengakuan di bibir saja. Iman itu harus nyata dalam perbuatan-perbuatan iman.

Monday, July 9, 2007

Seni Memberi (2): Memberi Berkat

6 Camkanlah ini: Orang yang menabur sedikit, akan menuai sedikit juga, dan orang yang menabur banyak, akan menuai banyak juga.
2 Kor 9:6

Di dalam tulisan sebelumnya (Seni Memberi (1): Bisa dapat lebih banyak?) kita sudah melihat kesalahan di dalam menafsirkan ayat yang keenam ini. Karena justru penekanannya yang seharusnya menjadi motivasi di dalam memberi adalah bersukacita, dan bukan karena paksaan.
Dalam tulisan kali ini, saya ingin melihat arti sebenarnya dari bahasa aslinya (Yunani). Khususnya ada dua kata yang ingin saya soroti, yaitu yang diterjemahkan sedikit dan banyak di dalam Alkitab TB Indonesia ataupun yang diterjemahkan sparingly dan bountifully/generously oleh Alkitab2 dalam versi bahasa Inggris.

Di dalam bahasa aslinya memakai kata pheidomenos (yg diterjemahkan sedikit/sparingly) dan eulogia (yang diterjemahkan banyak/bountifully/generously).

Pheidomenos
Kata ini bisa berarti sedikit, bisa juga berarti dengan perhitungan, atau sesuatu yang tidak perlu. Maksudnya, di dalam konteks memberi, maka Rasul Paulus sedangan menasehatkan kepada jemaat Korintus untuk tidak pelit (hitung-hitungan) dalam memberi ataupun memberikan sesuatu yang tidak diperlukan.

Contohnya, banyak orang yang memberikan persembahan ataupun membantu orang lain, tetapi tidak ada kerelaan, menggerutu, marah-marah ataupun pelit. Anugerah yang sudah diberikan Allah kepada orang-orang itu sudah terlalu banyak. Tetapi giliran harus memberikan persembahan ataupun membantu orang lain, terlalu banyak perhitungan dan pertimbangan, dan sepertinya sulit sekali untuk diberikan. Waktu membutuhkan sesuatu, biasanya berdoa kepada Allah untuk secepatnya menjawab dan memberikan anugerahNya, tetapi ketika harus memberi sepertinya lambat sekali. Egois!!! Bagaimana kalau Allah memperlakukan hal itu juga kepada kita? Ia menahan berkat-berkatNya dari hidup kita?

Contoh yang lain adalah memberikan kepada orang lain apa yang kita tidak butuhkan lagi (barang-barang bekas) dan berharap orang lain membutuhkannya. Sepertinya memang baik, karena tetap bisa memanfaatkan barang bekas dan ada orang yang membutuhkan hal itu. Meskipun demikian, kita tetap perlu mempertanyakan apa yang betul-betul dibutuhkan orang yang akan kita beri. Bukankah ia juga membutuhkan barang yang baru? Dan kalau kita memberikan apa yang sudah tidak kita butuhkan lagi, artinya kita sedang tidak memberi sesuatu. Karena kita sedang memberi sesuatu yang menurut kita tidak berharga lagi buat kita (meskipun itu berharga bagi orang lain). Kalau bisa memberi yang baru dan baik, kenapa harus memberi yang bekas? Kalau bisa membagi apa yang kita butuhkan kepada orang lain yang lebih membutuhkan, mengapa kita harus memberikan yang tidak dibutuhkan?

Eulogia
Kata ini bisa berarti pujian, berkat, keuntungan. Dua arti yang terakhir lebih tepat dengan konteks ayat yang kita baca. Paulus mengajarkan jemaat Korintus untuk memberi bukan hanya sekedar memberi, tetapi juga memberi sesuatu yang menguntungkan dan bahkan memberikan berkat.

Kita bisa mengerti maksudnya Paulus dengan membandingkannya dengan apa yang ditulis oleh Yakobus di dalam Yak 2:14-16:
14 Apakah gunanya, saudara-saudaraku, jika seorang mengatakan, bahwa ia mempunyai iman, padahal ia tidak mempunyai perbuatan? Dapatkah iman itu menyelamatkan dia? 15 Jika seorang saudara atau saudari tidak mempunyai pakaian dan kekurangan makanan sehari-hari, 16 dan seorang dari antara kamu berkata: "Selamat jalan (seharusnya: Pergilah dengan damai, salam berkat yang biasa dipakai waktu itu) kenakanlah kain panas dan makanlah sampai kenyang!", tetapi ia tidak memberikan kepadanya apa yang perlu bagi tubuhnya, apakah gunanya itu?

Yakobus menunjukkan bagaimana orang yang beriman dengan memberikan berkat, tetapi tidak memberi apa-apa. Iman tanpa perbuatan!

Paulus sebenarnya senada dengan Yakobus, tapi dari sudut yang berbeda. Ia menekankan bukan hanya memberi tetapi juga pada waktu memberi, berikan juga berkat kepada orang yang sudah diberikan. Kedengarannya aneh untuk zaman kita sekarang ini. Karena kalau kita perhatikan para pengemis atau orang-orang yang mendapatkan pemberian, biasanya merekalah yang berterima kasih, mendoakan dan memintakan berkat untuk sang pemberi. Tapi, Paulus justru mengajarkan bahwa sang pemberilah yang seharusnya memberi dan memintakan berkat bagi orang yang sudah diberi!!!

Selain itu, pemberian seharusnya juga menguntungkan orang yang diberi. Ada yang memberikan barang bekas, yang pada awalnya kelihatan baik dan menguntungkan tetapi ternyata selanjutnya sangat merugikan. Atau mungkin juga sebaliknya. Sesuatu yang diberikan dengan sukacita dan berkat seharusnya memberikan kebaikan dan faedah yang besar bagi orang yang mendapatkannya.

Marilah kita belajar memberi yang terbaik, sama seperti kita sudah mendapatkan yang terbaik dari Allah. Marilah kita belajar memberi dengan berkat, sama seperti Allah sudah memberikan kelimpahan dengan berkat kepada kita. Biarlah semuanya itu membuat orang-orang yang menerima itu bersyukur kepada Allah yang tidak pernah berhenti bekerja dan terus melimpahkan segala berkat-berkatnya.



Baca juga:

- Seni Memberi (1): Bisa dapat lebih banyak?

- Seni Memberi (3): Pemberi yang Bersukacita