Ayat Hari Ini:

Showing posts with label Yohanes 19. Show all posts
Showing posts with label Yohanes 19. Show all posts

Wednesday, April 4, 2007

Sudahkah Selesai?

Menjelang Jumat Agung dan Paskah, biasanya kita terus diingatkan kembali bagaimana penderitaan, kematian dan kebangkitan Kristus untuk menebus dosa-dosa kita. Semua orang percaya mengerti bahwa Kristus sudah menyelesaikan semua dosa kita dan kita bersyukur atas semuanya itu.
Tetapi, tetap saja banyak pengertian yang salah terhadap penebusan yang dilakukan oleh Kristus. Dan masih banyak pertanyaan yang muncul, kalau Kristus sudah menyelesaikan dosa-dosa saya, kenapa saya masih berbuat dosa? Dosa yang mana yang ditebus oleh Kristus? kalau semua dosa saya sudah diampuni, mengapa saya masih harus berkali-kali minta ampun terhadap dosa-dosa yang masih dilakukan? Apakah betul semuanya sudah selesai di atas kayu salib?

Sesudah Yesus meminum anggur asam itu, berkatalah Ia: "Sudah selesai." Lalu Ia menundukkan kepala-Nya dan menyerahkan nyawa-Nya.
Yoh 19:30

Sudah selesai di dalam bahasa Yunaninya adalah tetelestai, dari akar kata teleo. Kata teleo berarti saya melepaskan kehendak pribadi untuk menyelesaikan satu tugas yang dibebankan. Sedangkan kata tetelestai adalah kata kerja indikatif perfect passive. Yang seharusnya diterjemahkan bahwa kehendak sudah diambil dan tugas yang dibebankan sudah diselesaikan dan digenapi. Dan mempunyai akibat yang terus-menerus sampai sekarang ini (karena nuansa dari kata kerja perfect).
Dari pengertian kata tetelestai, maka seharusnya kita bisa melihat tentang ada pergumulan dalam kehendak pribadi sebelum peristiwa penebusan, dan ada tugas yang dibebankan yang harus diselesaikan.
Seharusnya kita balik lagi ke Taman Getsemani, ketika Tuhan Yesus bergumul antara kehendakNya dengan kehendak Bapa. Tuhan Yesus kemudian melepaskan kehendakNya dan masuk di dalam kehendak Bapa. Mengapa Tuhan Yesus juga bergumul dengan masalah kehendakNya? Bukankah Ia adalah Allah dan manusia yang tidak berdosa seharusnya kehendakNya sesuai dengan kehendak Bapa? Agak mirip dengan penafsiran2 yang lain, sepertinya Ia sedang mengalami pencobaan. Dan tentu saja untuk mengajarkan bagaimana seharusnya bergumul di dalam melakukan kehendak Allah. Banyak orang percaya yang merasa sudah mengerti pergumulan ini, tetapi dalam prakteknya sulit untuk melakukan apa yang menjadi kehendak Bapa. Terlalu banyak keinginan dan kehendak kita yang ingin kita lakukan dan berharap disetujui oleh Tuhan; terlalu sulit untuk mengerti apa yang menjadi kehendak Tuhan melalui firman; dan terlalu kurang iman untuk melakukan prinsip-prinsip yang dibukakan melalui firman. Sepertinya kita selalu merasa tidak sanggup untuk melakukan semuanya itu. Padahal justru ketidaksanggupan kita yang menjadi alasan kenapa kita bisa hidup dan bertahan sampai saat ini. Apa kita sanggup? Bukankah justru karena ada anugerah Tuhan!
Apakah semua kehendak kita pasti salah dan bertentangan dengan kehendak Allah? Mengapa kita harus meninggalkan apa yang menjadi kehendak dan keinginan kita? Tidak tentu semua keinginan dan kehendak kita pasti bertentangan dengan kehendak Allah, tetapi kita harus mengerti dan menyadari bahwa kita asalnya adalah orang berdosa dan buta di dalam kegelapan dosa. Jaminan apa yang bisa menegaskan bahwa kehendak kita lebih banyak sesuai dengan kehendak Allah? Secara logika, pasti lebih banyak tidak berkenan dihadapan Allah. Kita bisa mengerti akan hal ini kalau kita melihat kepada firman. Kita akan menemukan bahwa terlalu banyak keinginan dan kehendak kita sangat jauh dari apa yang menjadi kehendak Allah. Apalagi ditambah dengan pencobaan2 dari Iblis, dunia dan keinginan hati kita yang tentu saja ingin melawan kehendak Allah. Maka hidup ini adalah perubahan dari kehendak-kehendak kita yang harus dibersihkan dan dilepaskan untuk bisa melakukan apa yang menjadi kehendak Bapa. Semakin kita dibersihkan dari kehendak kita yang menyimpang, semakin jelas kita melihat kehendak Allah dan pekerjaan baik yang dipersiapkan Allah bagi kita untuk menggenapinya.
Tuhan Yesus sudah menyelesaikan tugasNya di dunia. Dan Ia memuliakan Bapa dengan tugas yang dikerjakanNya. Ia sudah menyelesaikan tugas untuk menebus dosa-dosa orang pilihan dengan menderita dan mati di atas kayu salib. Semua dosa orang pilihan, sampai yang belum dilakukan sekalipun sudah ditebus dan dibereskan. Tidak ada hutang lagi! Tidak perlu lagi ada domba yang dikorbankan, karena Anak Domba Allah sudah menggenapinya. Tidak perlu lagi Imam untuk datang kepada Allah mewakili kita, karena kita mempunyai Imam Maha Besar dan kita juga berfungsi kembali sebagai imam.
Kalau semua dosa kita sudah dibereskan, kenapa kita masih berbuat dosa? Karena dari sisi Allah melihat kita, semuanya sudah beres, kita bukan orang berdosa lagi. Tetapi dari sisi kita berespon kepada Allah, ternyata belum selesai. Meskipun Kristus sudah mati untuk kita sebelum kita lahir, tetapi keselamatan dan penebusan dosa itu berlaku saat kita diselamatkan dan doa minta pengampunan yang harus kita panjatkan sampai kita bertemu dengan Allah, dimana kita menjadi sempurna. Kita masih di dalam waktu, ada proses perubahan dari orang berdosa menjadi orang yang kudus sepenuhnya. Di satu sisi kita sudah dikuduskan melalui Kristus, tetapi di sisi yang lain kita masih perlu dikuduskan untuk sesuai dengan status kita yang sudah dikuduskan. Itu sebabnya dalam bahasa Yunani tetelestai memakai kata kerja dalam bentuk perfect. Hanya terjadi satu kali dan sudah selesai, tetapi berdampak terus-menerus sampai sekarang. Ada yang already dan ada yang not yet.
Maka pertanyaan bagi kita, apakah dalam hidup kita menggenapkan apa yang sudah dikerjakan Kristus bagi hidup kita? Apakah kita menunjukkan bahwa hidup kita ini adalah hidup yang terus dikuduskan dan terus terjadi perubahan yang lebih baik untuk menggenapkan kehendak Allah? Hal-hal apa yang seharusnya sudah ditinggalkan dan dibereskan untuk melakukan kehendak Allah yang lain lagi yang sudah disiapkan bagi kita? Banyak orang terlalu mencintai masa lalu dan tidak ingin beranjak kepada masa depan yang sejati. Kalau masa lalu yang dilihat adalah apa yang dilakukan oleh Kristus untuk hidup kita, maka yang kita lihat adalah masa depan. Tetapi, kalau masa lalu yang kita lihat hanyalah keberdosaan, kehendak dan keinginan kita yang terus bertentangan dengan kehendak Allah, maka kita sedang menyia-nyiakan hidup ini. Mata kita seharusnya memandang kepada Kristus yang sudah menyelesaikannya (past) dan memandang kepada Kristus yang pasti akan menyempurnakannya (future).
Tetelestai juga seharusnya menjadi jaminan bagi orang percaya bahwa ada kemenangan di dalam peperangan dengan dosa. Kristus sudah menyelesaikan semuanya, kita diajak untuk melihat penggenapan apa yang dilakukan oleh Kristus di dalam hidup kita. Peperangan yang sudah dimenangkan oleh Kristus, yang kuasaNya menyertai kita untuk menang dalam peperangan dan menyelesaikan tugas kita. Sudahkah kita melihat kuasa Kristus bekerja di dalam hidup kita? Kuasa yang membuat kita menang dalam peperangan melawan dosa, kuasa yang membuat kita bersyukur bahwa Kristus sudah menyelesaikannya.
Mari kita bersyukur untuk apa yang sudah Kristus selesaikan dan kita hidup di dalam anugerah itu, melihat perubahan yang terus terjadi di dalam hidup kita dan bersiap menuju kesempurnaan. Meninggalkan apa yang harus kita lepaskan dan tinggalkan dan melakukan apa yang Tuhan kehendaki bagi kita, menyelesaikannya untuk kemuliaan Allah.

Wednesday, March 28, 2007

Pengalaman Neraka

Pengalaman berada di dalama neraka pastilah tidak enak. Banyak orang yang tidak percaya kepada Allah justru menyukai neraka, karena berpikir bahwa mereka bebas melakukan dosa-dosa yang mereka sukai. Mereka tidak bisa melihat penderitaan dan kesulitan yang akan dialami di dalam api neraka. Konsep tentang dosa dan murka Allah tidak ada di dalam pikiran orang-orang seperti itu. Kalau di dalam dunia ini, perbuatan yang salah dihukum dan bahkan di penjara dengan segala keterbatasan, mungkinkah di dalam neraka orang-orang berdosa akan mendapatkan segala keinginannya? Apakah mereka bisa bebas berbuat dosa? Apakah mereka menganggap sepi murka Allah dan api neraka yang harus ditanggung? Seharusnya pengalaman neraka di atas kayu salib bisa dimengerti oleh mereka.

Sesudah itu, karena Yesus tahu, bahwa segala sesuatu telah selesai, berkatalah Ia supaya genaplah yang ada tertulis dalam Kitab Suci :"Aku haus!"
Yoh 19:28

Membaca dan membayangkan kalimat Tuhan Yesus yang berkata tentang rasa hausNya, sebagian berpikir bahwa Tuhan Yesus kekurangan cairan. Berjam-jam di salib, sesudah dianiaya selama berjam-jam, memang seharusnya terjadi dehidrasi. Tetapi rasa haus ini seharusnya adalah rasa haus yang berbeda. Tuhan Yesus tidak secengeng itu, setelah melewati penderitaan dan penganiayaan yang tiada taranya, apakah mungkin Ia berubah menjadi cengeng dan minta minum?

Selain itu sebagian juga melihat bahwa kalimatNya hanya untuk menggenapkan nubuat yang ada di dalam Perjanjian Lama. Memang benar kalimat itu adalah penggenapan dari Mazmur 69:22 (ay.21 dlm versi bhs Inggris). Pertanyaannya, apa hubungannya dengan penyaliban Kristus? Hanya sekedar penggenapan dan tidak ada arti sama sekali dengan rencana penebusan?

Saya mencoba menafsirkan dengan cara berbeda, selain berbicara tentang penggenapan nubuat PL (meskipun mungkin bisa jatuh ke dalam alegoris).

Hausnya Tuhan Yesus adalah haus yang berbeda dengan haus yang biasa dialami oleh orang-orang yang disalib. HausNya disebabkan karena meminum cawan murka Allah. Lho? Minum , ko haus? Karena cawan murka Allah yang diminum adalah sebagian dari neraka. Saya membayangkan bahwa bagian orang-orang pilihan yang harus ditanggung di dalam neraka, itulah yang ditanggung dan diminum oleh Tuhan Yesus. bayangkan api neraka yang harus diminum dan ditanggungNya. Ini merupakan pengalaman neraka yang tiada taranya, membuat Tuhan Yesus seharusnya mengalami kehausan yang tiada taranya juga. Kita bisa membandingkannya dengan pengalaman orang kaya di dalam cerita orang kaya dan Lazarus (Luk 16:24). Orang kaya yang berada di dalam neraka meminta kepada Abraham agar menyuruh Lazarus mencelupkan jarinya ke dalam air dan memberikan kepadanya. Kehausan seperti apa yang dialami orang kaya itu di dalam nyala api itu? Kristus mengalaminya berkali-kali lipat.

Kalimat "Aku Haus" juga mengingatkan kita apa yang akan terjadi terhadap orang-orang yang melawan Allah. Kalimat itu akan menjadi teriakan mereka selama-lamanya. saat mereka harus menanggung dosa-dosa mereka sendiri di dalam api neraka.
Mengingatkan kita juga, bahwa ada banyak orang pilihan yang masih hidup dalam dosa, sedang berada dalam kehausan. Kita sekarang tidak berada di dalam kehausan itu lagi. Kristus sudah menanggungnya untuk kita, seharusnya kita juga membawa sang Air Hidup yang bukan hanya menanggung kehausan kita, tetapi juga memberikan jaminan Air Hidup yang kekal yang memuaskan hidup kita sampai selama-lamanya.

Apakah Anda termasuk orang yang berada di dalam kehausan? Belajarlah dari perempuan Samaria yang merasa mempunyai air, tetapi sesungguhnya kehausan. Sampai bertemu dengan Tuhan Yesus yang adalah Air Hidup, maka ia bisa dipuaskan.

Thursday, March 22, 2007

The Family Connection

Ada satu tokoh yang dianggap oleh sebagian orang Kristen sebagai tokoh yang sangat penting di dalam hidup Yesus Kristus, yaitu ibunya, Maria. Tokoh yang dianggap begitu penting sampai ada yang memuja, berdoa (dianggap sebagai koneksi terdekat Tuhan Yesus) dan bahkan ada yang menyembahnya. Yang tidak menganggap sepenting itupun tetap memakai nama Maria untuk anaknya. Maka, mungkin salah satu nama wanita yang paling pasaran adalah nama Maria!?
Maria adalah perawan yang dinubuatkan di dalam Perjanjian Lama untuk melahirkan seorang Messias. Ia dipilih. dan dianggap paling berbahagia di antara para wanita. Bagaimana hubungan antara sang Ibu dengan Yesus Kristus pada saat di salib? Adakah seperti yang dipikirkan oleh orang-orang yang menyembahnya? Bagaimana Tuhan Yesus melihat posisi keluargaNya di dalam keadaan seperti itu?

26 When Jesus saw his mother and the disciple whom he loved standing nearby, he said to his mother, "Woman, behold, your son!" 27 Then he said to the disciple, "Behold, your mother!" And from that hour the disciple took her to his own home.
John 19:26-27 ESV

Ketika Tuhan Yesus melihat ibuNya, Ia justru tidak memanggil sebagai 'Ibu'. Tetapi memakai kata 'wanita'. Mengapa? Sepertinya ada jarak, ada suatu relasi yang harus terpisah. Maria adalah ibuNya, tetapi itu hanya selama di dunia. Maria bukan ibu dari Tuhan Yesus untuk selama-lamanya. Itu sebabnya di atas kayu salib, sang Ibu hanyalah seorang wanita biasa yang membutuhkan pertolongan dan perlindungan.
Meskipun secara relasi sudah berakhir dengan kematian Tuhan Yesus, tetapi secara tanggung-jawab, Tuhan Yesus tetap melihat cara untuk menolong ibuNya di dalam kesulitan. Maria mempunyai dua kesulitan.
Kesulitan yang pertama, Maria pertama bertemu dengan Malaikat yang menjelaskan bahwa ia akan melahirkan seorang Juruselamat, Anak Allah. Tetapi, kenyataan yang dilihat agak berbeda. Sang Anak yang tadinya sempat menjadi seorang Rabi yang terkenal dengan kuasa, mujizat dan pengajaranNya, ternyata malahan menderita, dihina, dan dihukum di atas kayu salib. Pasti banyak pertanyaan yang ada di dalam pikiran Maria, yang selalu menyimpan semuanya di dalam hatinya. Mengapa? Siapa yang akan memberi penjelasan dan menjawabnya?
Kesulitan yang kedua, untuk kebutuhan hidup sehari-hari Maria membutuhkan ada orang yang bisa membiayai hidupnya. Tuhan Yesus sebagai anak yang tertua yang seharusnya bertanggung jawab akan hal ini (ada kemungkinan Yusuf sudah meninggal, karena tidak pernah lagi disebutkan namanya dan adik-adik Tuhan Yesus mungkin juga tidak sanggup melakukannya). Siapa yang bisa membantu seorang wanita yang di dalam budaya orang Israel tidak mempunyai hak untuk warisan?
Maka ketika Tuhan Yesus mengatakan dua kalimat kepada Maria dan Yohanes, bukan Yohanes yang diserahkan kepada Maria, melainkan Yohanes diberikan tugas oleh Tuhan Yesus untuk membantu Maria dalam segala kesulitannya. Ini jelas sekali terlihat pada ay.27, "Dan sejak saat itu murid itu menerima dia di dalam rumahnya."
Yohanes yang harus memberikan penjelasa kepada Maria mengapa sang Mesias harus disalibkan (meskipun waktu itu Yohanes belum mengerti sepenuhnya). Tetapi itu yang menjadi tanggung jawab Yohanes, tanggung jawab rohani terhadap orangtua. Ada satu prinsip yang penting yang perlu dipelajari, sampai matipun Tuhan Yesus tetap bertanggungjawab terhadap kerohanian ibuNya. Banyak anak hanya melihat kebutuhan finansial dari orang tuanya dan biasanya melupakan tanggung jawab secara rohani. Bahwa orang tua bukan hanya membutuhkan uang saja, tetapi membutuhkan pertumubhan rohani, perhatian dan jawaban dari berbagai pergumulannya. Kepada siapa mereka harus menceritakan semuanya, kalau bukan kepada anaknya sendiri (selain kepada teman dan sahabat)?
Sesudah itu, baru tanggung jawab kedua, yaitu secara finansial. Anak bertanggungjawab terhadap orangtuanya bukan untuk membalas jasa. Sama seperti orangtua membesarkan anak bukan untuk mengharapkan jasa dan tidak perlu menuntut anak untuk membalas jasa-jasanya. Anak kalau bisa bertanggungjawab terhadap orangtua adalah anugerah Tuhan. Karena itu merupakan suatu kebahagiaan untuk bisa melakukan sesuatu yang berarti untuk orang yang kita kasihi dan mengasihi kita. Tanpa tuntutan sama sekali. Meskipun secara budaya, itu sudah dianggap lumrah kalau seorang anak berbakti kepada orangtuanya.
Dan Yohanes ternyata betul-betul menjalankan tugas yang dikehendaki oleh Tuhan Yesus. Kis 1:14 menjelaskan bahwa Maria dan saudara-saudara Tuhan Yesus ikut bersama-sama dengan para murid bertekun dan bersehati dalam doa bersama-sama. Maria dan saudara-saudara Tuhan Yesus yang tadinya tidak mengerti semuanya ini, malahan sekarang berada di dalam kumpulan cikal-bakal jemaat mula-mula. Dalam perkembangan selanjutnya kita bisa melihat bahwa saudara Tuhan Yesus seperti Yakobus dan Yudas, ternyata berdampak sangat besar di dalam perkembangan jemaat mula-mula.
Banyak orang yang menafsirkan bahwa Tuhan Yesus seolah-olah dalam hidupNya mengajarkan untuk meninggalkan keluarga dan tidak memprioritaskan keluarga. Seorang pelayan, semakin giat melayani, seharusnya semakin melupakan keluarganya. Akibatnya banyak keluarga dari pendeta dan pelayan yang aktif ternyata berantakan dan memalukan. Di atas kayu salib Tuhan Yesus tetap memperhatikan keluarga. Seharusnya di saat yang begitu genting dan penting, tidak perlu memikirkan keluarga. Karena saat itu justru sedang mendekati saat-saat murka Allah akan dicurahkan. Lebih baik konsentrasi kepada pelayanan yang begitu penting. Ternyata, Tuhan Yesus tetap memperhatikan keluarga, tetapi di dalam porsi yang benar. Bukan dengan meninggikan ibuNya, melainkan menunjukkan relasi ibu-anak yang harus dilepaskan dan tanggung jawabnya terhadap keluarga yang akan dilanjutkan orang lain.
Kalau kita belajar dari Tuhan Yesus, kita akan terlepas dari dualisme keluarga dan pelayanan. Keduanya adalah bagian dari pelayanan. Adakah hidupmu sebagai orang percaya berdampak dalam keluargamu dan tetap bertanggung jawab terhadap keluarga?
Dalam hal ini, saya masih harus banyak belajar dan mempraktekkannya.