Ayat Hari Ini:

Showing posts with label Roma 12. Show all posts
Showing posts with label Roma 12. Show all posts

Thursday, May 3, 2007

Kehendak Allah (2)

Kalau di dalam Kehendak Allah (1) sudah melihat perbandingan dari beberapa teolog tentang bagaimana melihat kehendak Allah, maka dalam tulisan ini adalah penggalian pribadi dari Roma 12:1-2.
Khususnya ingin menyoroti tiga kata kerja yang dipakai oleh Rasul Paulus di dalam dua ayat ini.

1 Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati. 2 Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.
Roma 12:1-2


Ketiga kata kerja yang dipakai oleh Rasul Paulus adalah bagian dari nasehatnya yang bertujuan agar jemaat di Roma mampu untuk menguji dan membuktikan manakah kehendak Allah yang baik, berkenan kepada Allah yang sempurna.

(1) Parastesai, dari akar kata paristemi. Kata kerja ini ada di ayat pertama. Dalam Alkitab LAI diterjemahkan dengan 'mempersembahkan'. Persembahan ini bukanlah dilakukan berkali-kali, melainkan hanya sekali dan dilakukan secara aktif. Orang-orang yang ingin mengetahui kehendak Allah adalah orang-orang yang mempersembahkan hidupnya terlebih dahulu kepada Allah. Sebaliknya orang-orang yang hanya ingin memaksakan kehendaknya kepada Allah adalah orang-orang yang tidak pernah mempersembahkan dirinya. Mempersembahkan diri menjadi syarat pertama untuk mengetahui kehendak Allah, karena dengan mempersembahkan diri maka kita siap untuk menerima apapun kehendak Allah yang dibukakan untuk mengubah kehendak kita yang biasanya bertentangan dengan kehendak Allah.

(2) Suschematizo. Kata kerja ini ada di ayat kedua, yang diterjemahkan dengan 'menjadi serupa'. Sebenarnya lebih tepat kalau diterjemhkan 'mencocokan diri dengan pola/skema zaman ini'. Rasul Paulus menasehatkan jemaat di Roma untuk berhenti berusaha untuk terus-menerus mencocokan diri dengan pola zaman. Karena pola zaman yang menjadi trend justru ditandai dengan kecenderungan berbuat dosa yang begitu hebat. Seharusnya orang percaya tidak mengikuti pola hidup berdosa zaman ini. Ini adalah tahap kedua untuk mengerti kehendak Allah. Berhenti mengikuti keinginan dari ilah zaman ini dan tidak mengikuti pola hidup yang berdosa di zaman ini. Hal ini bukan berarti bahwa kita harus lari dari dunia ini dan menghindar dari semua trend dan gaya hidup serta kenikmatan yang ada. Nasehat dari rasul Paulus adalah berhenti mencocokan diri dengan pola hidup orang-orang berdosa. Jadi, apa yang harus dilakukan?

(3) metamorphoo. Kata kerja ini terdapat di ayat kedua, yang diterjemahkan dengan 'berubahlah'. Kata ini sebenarnya adalah kata kerja pasif dan bersifat terus-menerus. Lebih baik kalau diterjemahkan dengan 'bertransformasilah'. Transformasi ini adalah pekerjaan Allah di dalam pembaruan (renovasi) pikiran dan cara pandang kita. Kita pasif karena Roh Kudus yang mengubahkan kita melalui firman, tetapi aktif di dalam menggali dan merenungkan firman, yang dengan pekerjaan Roh Kudus sedang mengubah, mengoreksi dan membentuk cara pandang kita. Jadi, bukan hanya berhenti mencocokan diri, kemudian lari dan menghindar dari kenyataan dunia yang berdosa ini, melainkan melihat pembaruan yang terjadi dan merubah arah dari pola zaman ini yang berdosa, di bawa kembali kepada arah yang sejati, kepada Allah. Di tahap ketiga ini, membuat kita bisa menguji dan membuktikan manakah kehendak Allah yang baik, berkenan kepada Allah dan yang sempurna.

Sesungguhnya orang-orang yang sudah mempersembahkan seluruh hidupnya kepada Allah, akan berhenti untuk menjadi sama dengan pola zaman ini yang berdosa, kemudian akan ditransformasikan cara pandangnya dengan kebenaran-kebenaran firman,sehingga bisa menguji dan membuktikan manakah yang benar-benar kehendak Allah..

Tuesday, April 17, 2007

Managing Oneself

Kemarin ada seorang mantan Majelis yang pernah pelayanan bareng di satu gereja mengajak ketemu, dan kita makan di salah satu restoren di Mall Taman Anggrek. Ngobrol banyak tentang pelayanan masing-masing dan rencana ke depan. Bapak Majelis itu mempromosikan satu buku yang baru saja dibelinya di toko buku di situ. Ternyata dia sengaja beli untuk dikasih ke saya. Buku dikasih gratis, maka harus dibagi-bagi apa yang didapat dari buku itu. Kumpulan tulisannya Peter F. Drucker, The Man who invented Management (BusinessWeek). Kumpulan tulisannya dibagi 2 bagian, yang pertama tentang tanggung jawab dari Manager (kita semua adalah manager/oikonomia, yang diserahkan talenta oleh Tuhan utk dikembangkan). Sedangkan bagian keduanya adalah tentang dunia dari para Executive (kita bukan hanya executive, melainkan adalah Raja yang mewakili Tuhan di bumi ini). Saya hanya ingin membagikan artikel pertama yang ada di dalam bagian pertama tentang Managing Oneself. Karena ada hal-hal yang menarik untuk mengevaluasi diri.

The sum of true wisdom—viz. the knowledge of God and of ourselves
(John Calvin)

Drucker melihat di dalam sejarah bahwa orang-orang yang mencapai puncaknya adalah orang-orang yang bisa manage dirinya. Contohnya: Napoleon, da Vinci, Mozart.
Untuk bisa manage diri sendiri perlu mengetahui beberapa hal:

What are my Strengths?
Drucker menemukan kekuatan2nya melalui feedback analysis. Setiap kali ia ingin mengambil kepurusan yang penting, dia menuliskan apa yang dia harapkan akan terjadi. Kemudian di dalam waktu 9 atau 12 bulan kemudian dibandingkan dengan apa yang terjadi sebenarnya. Yang menarik, menurut Drucker cara ini bukan cara baru, tapi sudah dimulai dari abad ke-14 yang kemudian dipraktekkan dengan sangat baik sebagai suatu kebiasaan oleh John Calvin dan Ignatius Loyola, dua orang yang mendirikan Gereja Calvinist dan Jesuit order. Kedua-duanya mendominasi Eropa dalam waktu yang cukup lama.
Implikasi dari pengetahuan tentang kekuatan2 kita: Pertama, konsentrasi pada kekuatan2 itu. Kedua, kembangkan dan tingkatkan kekuatan2 itu. Ketiga, selidiki dan atasi kesomobngan intelektual yang menghambat kemajuan.
Apa yang dipikirkan oleh Drucker sebenarnya mirip dengan evaluasi dari pemberian2 yang sudah Tuhan berikan kepada kita, talenta2 dan karunia. Melihat di mana bagian kita dari tubuh Kristus. Evaluasi yang lebih baik adalah dengan melihat kepada firman dan pengenalan akan Allah. Sama seperti yang dikatakan oleh Calvin, tanpa pengenalan akan Allah tidak ada pengenalan akan diri; dan sebaliknya. Implikasinya, sebenarnya dalam pengenalan akan diri membuat kita semakin mengenal, bersyukur dan memuliakan Tuhan.

How Do I Perform?
Drucker melihatnya sebagai keunikan yang berasal dari kepribadian seseorang. Bisa diubah, tapi tidak bisa secara keseluruhan. Drucker melihat beberapa pertanyaan2 lagi untuk bisa mengerti hal ini:
Am I a Reader or a Listener? Drucker memberikan dua contoh Presiden USA, Dwight Eisenhower dan Lyndon Johnson. Yang pernah berhasil dan akhirnya gagal karena tidak melihat kemampuannya sebagai pembaca atau pendengar.
How do I Learn? Dari mengetahui bahwa apakah kita adalah pembaca atau pendengar akan membuat kita mengerti bagaimana cara belajar yang lebih baik.
Sebenarnya masih ada juga pertanyaan yang harus dipertanyakan, seperti apa saya lebih baik bekerja sendiri? Atau lebih baik di dalam satu grup?, dan masih banyak pertanyaan lainnya.
Drucker mengambil kesimpulan bahwa jangan berusaha merubah diri sendiri tapi kerja keras untuk improve the way you perform.
Bagi saya sangat menarik, karena banyak yang mengajarkan pembentukan kepribadian bukan berasal dari dalam, tapi dari luar. Padahal kepribadian seseorang justru dibentuk dari firman hari demi hari dan pergumulannya untuk melakukan firman. Seharusnya orang-orang Kristen yang dibentuk dengan firman akan perform lebih baik.

What are My Values?
Pertanyaan ini adalah salah satu pertanyaan yang terpenting yang harus dipertanyakan. Drucker memberikan sebuah tes, yang dinamakannya mirror test. Suatu pertanyaan, orang seperti apa yang saya ingin lihat di kaca pada pagi ini? Pertanyaan yang bukan untuk memanipulasi diri, tapi mempertanyakan nilai2 yang dianggap penting dan berharga, serta seperti apa kita melihat sukses di dalam hidup. Drucker sedikit membagikan cerita hidupnya. Ia sangat baik sebagai seorang bankir muda di London pada pertengahan tahun 1930-an. Pekerjaannya sangat sesuai dengan kemampuan dan kekuatannya, tapi ia melihat bahwa tidak ada yang penting menjadi seorang yang sangat kaya yang akan mati di dalam kuburan. Dalam keadaan tidak punya uang dan prospek pekerjaan selanjutnya, ia berhenti dan keputusannya tidak salah. Ia tidak menjadi seorang yang sangat kaya, tetapi kekayaan pengetahuan dan pergumulannya membuat banyak orang mengerti tentang hidup dan kerja.
Saya sangat setuju dengan Drucker, Values are and should be the ultimate test. Maka nilai-nilai di dalam hidup kita harus dibangun melalui pengenalan akan Tuhan melalui firmanNya. Tanpa itu, nilai2 kita hanya akan dipengaruhi oleh dunia. Cara melihat kesuksesan yang sebenarnya hanya UUD (ujung-ujungnya duit).

Masih ada beberapa point yang dibahas oleh Drucker dalam artikel ini seperti, Where Do I Belong? What Should I Contribute? Responsibility for Relationships and The Second Half of Your Life. Tetapi, tiga point yang pertama di atas sudah cukup untuk mengerti dan bisa belajar banyak untuk mengenal diri kita yang seharusnya hidup untuk memuliakan Tuhan.

Tulisan singkat lain tentang Managing Oneself dari Drucker bisa di baca di Managing Knowledge Means Managing Oneself

Berdasarkan kasih karunia yang dianugerahkan kepadaku, aku berkata kepada setiap orang di antara kamu: Janganlah kamu memikirkan hal-hal yang lebih tinggi dari pada yang patut kamu pikirkan, tetapi hendaklah kamu berpikir begitu rupa, sehingga kamu menguasai diri menurut ukuran iman, yang dikaruniakan Allah kepada kamu masing-masing.
Roma 12:3

Thursday, March 15, 2007

The Opium of Positive Thinking

Beberapa bulan yang lalu, sempat beberapa kali ada kesempatan di hari Rabu-Kamis untuk nonton Audisi American Idol. Ribuan orang di beberapa kota di Amerika datang dengan mimpi-mimpi untuk menjadi seorang idol. Dan, kalau menjadi American Idol menjanjikan kesuksesan yang luar biasa. Kenyataannya lebih banyak yang bermimpi dan sangat kecewa dengan mimpinya yang tidak akan pernah menjadi kenyataan. Banyak peserta audisi yang sudah berlatih dan mempersiapkan diri dengan sangat baik (menurut mereka) dan merasa pasti bisa untuk menjadi seorang American Idol. Minimal dapat tiket ke Hollywood. Sudah memproyeksikan dirinya, percaya dengan banyak hal yang akan terjadi dengan pikirannya yang positif. Tapi, sesungguhnya kalau dilihat dengan akal sehat, sangat jauh dari klaimnya yang merasa akan berhasil. Mengapa banyak orang menipu dirinya sendiri?

Berdasarkan kasih karunia yang dianugerahkan kepadaku, aku berkata kepada setiap orang di antara kamu: Janganlah kamu memikirkan hal-hal yang lebih tinggi dari pada yang patut kamu pikirkan, tetapi hendaklah kamu berpikir begitu rupa, sehingga kamu menguasai diri menurut ukuran iman, yang dikaruniakan Allah kepada kamu masing-masing.
Rom 12:3

Beberapa alasan dari kesulitan dan kegagalan manusia adalah karena manusia terlalu percaya dengan positive thinkingnya. Banyak orang yang memimpikan terlalu jauh dibandingkan dengan yang seharusnya dilakukan di dalam beberapa hal. Sedangkan di dalam beberapa hal yang lain di mana seharusnya memikirkan lebih tinggi, ternyata tidak pernah sampai ke situ. Maka Rasul Paulus mengatakan perlu ukuran iman yang sudah dianugerahkan Allah kepada kita masing-masing. Nah, di sini masalahnya. Ukuran iman ternyata digantikan oleh positive thinking. Banyak orang tidak ingin melihat ukuran iman itu, tetapi lebih ingin melihat apa yang diinginkan untuk melepaskan dirinya secepat mungkin dari segala kesulitannya dan secepatnya bisa menikmati segala kenikmatan yang kelihatannya mungkin untuk dijangkau dengan iman.
Jadi, sebenarnya banyak orang yang merasa sedang memikirkan ukuran imannya, sebenarnya melupakan kata-kata sebelum 'menurut ukuran iman', yaitu kata 'menguasai diri.' Dalam bahasa Yunaninya, Rasul Paulus menggunakan dua kata phronein dan sophronein, yang artinya berpikir dan melatih dalam mengontrol pikiran/diri. Di zaman sekarang ini, banyak orang yang mengatakan bahwa ia beriman bahwa segala sesuatu yang dipikirkan akan terjadi, hanya menunjukkan bahwa ia tidak bisa mengontrol dirinya akan segala keinginan yang diharapkan segera terjadi. Jauh sekali berbeda dengan apa yang dimaksudkan oleh Rasul Paulus. Positive Thinking sudah membius dan mengikat banyak orang, bagaikan candu, ditengah kesulitan dan pergumulan seolah-olah jalan keluarnya hanyalah dengan berpikir positif yang cenderung menipu dan memanipulasi.
Seharusnya kita berlatih untuk menerima keadaan dan belajar melihat bahwa keadaan sekarang, selama masih ada waktu dan kesempatan serta anugerah dari Tuhan, maka keadaan itu bukan akhir dari segalanya. Jadi belajar menerima keadaan. Yang harus terjadi dan yang harus ditanggung, haruslah ditanggung. Ketika kita harus kehilangan mimpi-mimpi, barang-barang dan bahkan orang-orang yang kita kasihi, kita harus menerima kenyataan itu. Pemikiran kita yang positif tidak akan mengembalikan semuanya.
Seharusnya juga kita melihat masa depan bukan hanya berdasarkan keinginan kita, tetapi menghubungkannya dengan seluruh rencana Allah dan membuka mata melihat sejarah yang sedang berlangsung. Kalau mata kita betul-betul terbuka, maka seharusnya kita makin pesimis dan bukan optimis dengan dunia ini. Karena dosa lebih merajalela, orang yang betul-betul bersaksi semakin sedikit. Bahkan banyak orang Kristen yang hanya hidup untuk dirinya ambisinya, keluarganya, gerejanya dan tidak ingin melihat keseluruhan Kerajaan Allah. Harusnya keadaan ini tidak bisa membuat kita positive thinking. Kecuali kalau kita lari dari kenyataan atau ingin lari dari kenyataan. Tetapi, semuanya belum berakhir, ada rencana Tuhan yang indah bagi umat pillihanNya. Dan seharusnya di dalam kepesimisan yang paling dalam kita tetap bisa melihat anugerah dan pemeliharaan Allah yang terus bekerja. Itu sebabnya dunia ini tidak segera berubah menjadi neraka sesudah manusia jatuh dalam dosa dan makin bertambah jahat.
Maka, bagi saya seharusnya kita belajar untuk mengerjakan apa yang sudah dibukakan oleh Tuhan saat ini, sambil memikirkan apa dampaknya sampai kepada kekekalan. Dan kemudian melakukan lagi apa yang telah kita pikirkan sampai pada kekekalan. Pelajaran ini tidak akan membuat kita tertipu dengan fenomena dan keinginan kita yang begitu mencintai diri sendiri dan hanya menginginkan diri kita sendiri yang bahagia. Tuhan justru akan membuat kita semakin jelas dengan segala hal yang terus dibukakanNya kepada kita, karena Dia sudah mempersiapkan semuanya.
Semoga Allah kita terus menganugerahkan iman kepada kita untuk melihat segala sesuatu di dalam rencanaNya dan kita hidup terus-menerus di dalam pekerjaan baik yang dipersiapkan Allah sebelumnya.

I don't know about tomorrow,
I just live from day to day.
I don't borrow from it's sunshine,
For it's skies may turn to gray.
I don't worry o'er the future,
For I know what Jesus said,
And today I'll walk beside Him,
For He knows what is ahead.

I don't know about tomorrow,
It may bring me poverty;
But the One Who feeds the sparrow,
Is the One Who stands by me.
And the path that be my portion,
May be through the flame or flood,
But His presence goes before me,
And I'm covered with His blood.

Many things about tomorrow,
I don't seem to understand;
But I know Who holds tomorrow,
And I know Who holds my hand.


Words and Music by Ira Stanphill