Ayat Hari Ini:

Showing posts with label Seni Memberi. Show all posts
Showing posts with label Seni Memberi. Show all posts

Tuesday, July 10, 2007

Seni Memberi (3): Pemberi yang Bersukacita

7 Hendaklah masing-masing memberikan menurut kerelaan hatinya, jangan dengan sedih hati atau karena paksaan, sebab Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita. 8 Dan Allah sanggup melimpahkan segala kasih karunia kepada kamu, supaya kamu senantiasa berkecukupan di dalam segala sesuatu dan malah berkelebihan di dalam pelbagai kebajikan. 9 Seperti ada tertulis: "Ia membagi-bagikan, Ia memberikan kepada orang miskin, kebenaran-Nya tetap untuk selamanya." 10 Ia yang menyediakan benih bagi penabur, dan roti untuk dimakan, Ia juga yang akan menyediakan benih bagi kamu dan melipatgandakannya dan menumbuhkan buah-buah kebenaranmu; 11 kamu akan diperkaya dalam segala macam kemurahan hati, yang membangkitkan syukur kepada Allah oleh karena kami.
2 Kor 9:7-11

Rasul Paulus waktu membicarakan tentang pemberi yang bersukacita, ternyata tidak memberikan contoh dirinya yang bisa memberi dengan sukacita. Ia juga tidak memberikan contoh dari tokoh-tokoh Alkitab sebelumnya yang bisa memberi dengan sukacita. Tetapi, Paulus memberikan contoh dari sang pemberi yang bersukacita adalah Allah. Ya, Allah adalah sang pemberi yang paling bersukacita.

Ayat 9 dan 10 menunjukkan bagaimana Allah memberi. Ia membagi-bagikan dan memberikan kepada orang miskin. Ia juga yang menyediakan benih untuk ditabur, melipatgandakan dan menumbuhkan buah-buah kebenaran. Tidak ada pemberi yang lebih bersukacita dibandingkan Allah. Karena Ia adalah sumber segala sesuatu dan Ia juga yang memberikan segala sesuatu kepada seluruh umat manusia. Meskipun kadang-kadang manusia salah berpikir, karena seringkali dianggap yang memberikan segala kebaikan, anugerah, berkat adalah orang tua, sahabat, saudara, ataupun ada yang beranggapan bumi ini, malaikat, setan ataupun hanya keberuntungan dan kebetulan semata. Padahal Allah adalah sumber dari segala kebaikan, kebenaran, keadalian, berkat dan anugerah. Segala kebenaran adalah kebenaran Allah. Allah turut bekerja di dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan...

Allah tidak menjadi oknum yang memonopoli semua pemberian itu. Seolah-olah hanya Allah yang bisa dan boleh memberi. Tetapi juga Ia mengingkan semua umatNya juga bisa merasakan sukacita yang Ia alami waktu memberi. Itu sebabnya Allah memberikan berkat dan kelimpahan kepada manusia dan Ia menginginkan dan mengasihi manusia yang juga bisa memberi dengan sukacita (ay. 7). Saudara mungkin berpikir, "Allah kan punya segala sesuatu, gampang dong untuk memberi. Lha, Saya... punya apa? Apa yang bisa saya beri?"
Menjawab pertanyaan itu, kita bisa melihat di ayat 8. Allah sanggup melimpahkan segala kasih karunia kepada kamu, supaya kamu senantiasa berkecukupan di dalam segala sesuatu dan malah berkelebihan di dalam pelbagai kebajikan. Allah sudah memberikan modal kepada manusia dan Ia bisa memberikan lebih lagi bagi kita untuk bisa memberi dengan sukacita. Masalahnya, apakah kita bisa melihat kelimpahan yang sudah dianugerahkan kepada kita?

Karena hidup manusia biasanya merasakan ketidakpuasan. Waktu belum memiliki keluarga sendiri atau banyak materi, seseorang berpikir akan lebih enak dan bahagia kalau sudah memiliki suami/isteri/anak serta rumah, mobil, dll. Sesudah mendapatkan semuanya, kepuasannya hanya sebentar dan mulai menginginkan hal yang lain lagi. Hidup ini rasanya ada yang kurang terus. Ada lagi yang dibutuhkan, ada lagi yang diperlukan. Apalagi kalau melihat iklan di TV, koran, majalah, ataupun lagi jalan-jalan di mall. Masih ada yang kurang di dalam hidup ini, kalau belum mendapatkan hal-hal/barang-barang yang baru itu. Kalau begitu terus, di mana ada ruang untuk memberi? Mungkin bisa tetap memberi, yaitu memberi barang-barang bekas kepada orang lain. Tapi, tunggu dulu. Zaman sekarang ini, barang bekaspun bisa dipakai untuk Tukar-Tambah. Jadi, mungkin tidak ada kesempatan untuk memberi. Dan tentu saja orang-orang seperti itu kehilangan sukacita yang seharusnya dialami waktu memberi.

Kesulitan lain yang dialami oleh seseorang untuk menjadi pemberi yang bersukacita, yaitu keterikatan dengan semua berkat Allah. Sebenarnya, Allah tidak kurang memberi kepada setiap manusia. Di dalam keadilan dan kedaulatanNya, Allah sudah memberikan apa yang perlu untuk kebutuhan dan kenikmatan manusia. Tetapi, keinginan manusia untuk dapat lebih dan mengikat dirinya dengan semua pemberian itulah yang membuat manusia bersukacita hanya ketika mendapatkan, dan sangat bersedih waktu kehilangan/kekurangan. Padahal kalau seseorang yang sadar bahwa ia datang ke dunia telanjang dan tidak membawa apa-apa dan akan mati dengan tidak akan membawa sedikitpun hartanya, maka seharusnya kalau di dalam dunia inipun kehilangan semuanya, itu bukanlah hal yang luar biasa. Semuanya wajar, akrena memang awal dan akhirnya akan seperti itu. Masalahnya, manusia sudah merasa semua pemberian dan kesempatan yang Allah anugerahkan adalah miliknya yang tidak boleh diambil dari dirinya sampai selama-lamanya. Maka, mungkin berkat-berkat yang melimpah di dalam hidup manusia, tidak tentu membuat hidupnya bersukacita. Hal yang samapun akan terjadi di dalam hidup dari orang-orang yang merasa dirinya tidak memiliki apa-apa.

Orang-orang yang merasa dirinya tidak punya apa-apa, adalah orang-orang yang tidak bisa menjadi pemberi yang bersukacita. Apakah betul seorang manusia yang masih hidup tidak memiliki apa-apa? Ada banyak orang cacat yang bisa menjadi contoh dalam hidup ini. Mereka bisa membuktikan bahwa mereka masih punya banyak hal yang merupakan pemberian Allah yang membuat hidup mereka bisa membantu dan menginspirasikan hidup mereka kepada banyak orang yang sehat!!? Apalagi kalau hidup kita ada Allah yang menyertai yang sanggup melakukan segala sesuatu. Hari ini kita mungkin tidak memiliki uang, tidak memiliki harta dan tidak memiliki segala sesuatu yang menurut kita harus ada untuk bisa memberi kepada orang lain. Tetapi sebenarnya kita sudah memiliki segala hal di dalam Allah yang menyertai hidup kita. Ada terlalu banyak hal yang bisa dilakukan dan dihasilkan jika Allah menyertai. Ini adalah janji Allah sendiri di dalam ay. 8-11. Percayakah Saudara kepada janji sang Pemberi yang paling bersukacita?
Jika Saudara percaya, Saudara sedang dipersiapkan untuk menjadi bagian di dalam pemberi-pemberi yang bersukacita. Soli Deo gloria..



Baca juga:

- Seni Memberi (1): Bisa dapat lebih banyak?

- Seni Memberi (2): Memberi Berkat



Monday, July 9, 2007

Seni Memberi (2): Memberi Berkat

6 Camkanlah ini: Orang yang menabur sedikit, akan menuai sedikit juga, dan orang yang menabur banyak, akan menuai banyak juga.
2 Kor 9:6

Di dalam tulisan sebelumnya (Seni Memberi (1): Bisa dapat lebih banyak?) kita sudah melihat kesalahan di dalam menafsirkan ayat yang keenam ini. Karena justru penekanannya yang seharusnya menjadi motivasi di dalam memberi adalah bersukacita, dan bukan karena paksaan.
Dalam tulisan kali ini, saya ingin melihat arti sebenarnya dari bahasa aslinya (Yunani). Khususnya ada dua kata yang ingin saya soroti, yaitu yang diterjemahkan sedikit dan banyak di dalam Alkitab TB Indonesia ataupun yang diterjemahkan sparingly dan bountifully/generously oleh Alkitab2 dalam versi bahasa Inggris.

Di dalam bahasa aslinya memakai kata pheidomenos (yg diterjemahkan sedikit/sparingly) dan eulogia (yang diterjemahkan banyak/bountifully/generously).

Pheidomenos
Kata ini bisa berarti sedikit, bisa juga berarti dengan perhitungan, atau sesuatu yang tidak perlu. Maksudnya, di dalam konteks memberi, maka Rasul Paulus sedangan menasehatkan kepada jemaat Korintus untuk tidak pelit (hitung-hitungan) dalam memberi ataupun memberikan sesuatu yang tidak diperlukan.

Contohnya, banyak orang yang memberikan persembahan ataupun membantu orang lain, tetapi tidak ada kerelaan, menggerutu, marah-marah ataupun pelit. Anugerah yang sudah diberikan Allah kepada orang-orang itu sudah terlalu banyak. Tetapi giliran harus memberikan persembahan ataupun membantu orang lain, terlalu banyak perhitungan dan pertimbangan, dan sepertinya sulit sekali untuk diberikan. Waktu membutuhkan sesuatu, biasanya berdoa kepada Allah untuk secepatnya menjawab dan memberikan anugerahNya, tetapi ketika harus memberi sepertinya lambat sekali. Egois!!! Bagaimana kalau Allah memperlakukan hal itu juga kepada kita? Ia menahan berkat-berkatNya dari hidup kita?

Contoh yang lain adalah memberikan kepada orang lain apa yang kita tidak butuhkan lagi (barang-barang bekas) dan berharap orang lain membutuhkannya. Sepertinya memang baik, karena tetap bisa memanfaatkan barang bekas dan ada orang yang membutuhkan hal itu. Meskipun demikian, kita tetap perlu mempertanyakan apa yang betul-betul dibutuhkan orang yang akan kita beri. Bukankah ia juga membutuhkan barang yang baru? Dan kalau kita memberikan apa yang sudah tidak kita butuhkan lagi, artinya kita sedang tidak memberi sesuatu. Karena kita sedang memberi sesuatu yang menurut kita tidak berharga lagi buat kita (meskipun itu berharga bagi orang lain). Kalau bisa memberi yang baru dan baik, kenapa harus memberi yang bekas? Kalau bisa membagi apa yang kita butuhkan kepada orang lain yang lebih membutuhkan, mengapa kita harus memberikan yang tidak dibutuhkan?

Eulogia
Kata ini bisa berarti pujian, berkat, keuntungan. Dua arti yang terakhir lebih tepat dengan konteks ayat yang kita baca. Paulus mengajarkan jemaat Korintus untuk memberi bukan hanya sekedar memberi, tetapi juga memberi sesuatu yang menguntungkan dan bahkan memberikan berkat.

Kita bisa mengerti maksudnya Paulus dengan membandingkannya dengan apa yang ditulis oleh Yakobus di dalam Yak 2:14-16:
14 Apakah gunanya, saudara-saudaraku, jika seorang mengatakan, bahwa ia mempunyai iman, padahal ia tidak mempunyai perbuatan? Dapatkah iman itu menyelamatkan dia? 15 Jika seorang saudara atau saudari tidak mempunyai pakaian dan kekurangan makanan sehari-hari, 16 dan seorang dari antara kamu berkata: "Selamat jalan (seharusnya: Pergilah dengan damai, salam berkat yang biasa dipakai waktu itu) kenakanlah kain panas dan makanlah sampai kenyang!", tetapi ia tidak memberikan kepadanya apa yang perlu bagi tubuhnya, apakah gunanya itu?

Yakobus menunjukkan bagaimana orang yang beriman dengan memberikan berkat, tetapi tidak memberi apa-apa. Iman tanpa perbuatan!

Paulus sebenarnya senada dengan Yakobus, tapi dari sudut yang berbeda. Ia menekankan bukan hanya memberi tetapi juga pada waktu memberi, berikan juga berkat kepada orang yang sudah diberikan. Kedengarannya aneh untuk zaman kita sekarang ini. Karena kalau kita perhatikan para pengemis atau orang-orang yang mendapatkan pemberian, biasanya merekalah yang berterima kasih, mendoakan dan memintakan berkat untuk sang pemberi. Tapi, Paulus justru mengajarkan bahwa sang pemberilah yang seharusnya memberi dan memintakan berkat bagi orang yang sudah diberi!!!

Selain itu, pemberian seharusnya juga menguntungkan orang yang diberi. Ada yang memberikan barang bekas, yang pada awalnya kelihatan baik dan menguntungkan tetapi ternyata selanjutnya sangat merugikan. Atau mungkin juga sebaliknya. Sesuatu yang diberikan dengan sukacita dan berkat seharusnya memberikan kebaikan dan faedah yang besar bagi orang yang mendapatkannya.

Marilah kita belajar memberi yang terbaik, sama seperti kita sudah mendapatkan yang terbaik dari Allah. Marilah kita belajar memberi dengan berkat, sama seperti Allah sudah memberikan kelimpahan dengan berkat kepada kita. Biarlah semuanya itu membuat orang-orang yang menerima itu bersyukur kepada Allah yang tidak pernah berhenti bekerja dan terus melimpahkan segala berkat-berkatnya.



Baca juga:

- Seni Memberi (1): Bisa dapat lebih banyak?

- Seni Memberi (3): Pemberi yang Bersukacita



Friday, July 6, 2007

Seni Memberi (1): Bisa dapat lebih banyak?

Memberi adalah sesuatu yang sulit sekali dilakukan oleh manusia. Kalau ada yang bisa dengan gampang memberi, maka mungkin sudah melalui suatu proses sehingga bisa memberi, atau sengaja memberikan untuk mendapatkan sesuatu yang lebih. Ada yang memberi untuk membeli teman-temannya, ada juga yang memberi karena ingin memanfaatkan orang yang diberi. bermacam-macam motivasi yang ada di dalam hati manusia.
Apalagi kalau pemberian itu berhubungan dengan uang yang banyak. Kesulitan yang ada semakin besar. Begitu juga dengan motivasi di dalam memberi. Bagaimana seharusnya kita memberi dengan benar? Apa yang menjadi motivasinya?

6 Camkanlah ini: Orang yang menabur sedikit, akan menuai sedikit juga, dan orang yang menabur banyak, akan menuai banyak juga. 7 Hendaklah masing-masing memberikan menurut kerelaan hatinya, jangan dengan sedih hati atau karena paksaan, sebab Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita. 8 Dan Allah sanggup melimpahkan segala kasih karunia kepada kamu, supaya kamu senantiasa berkecukupan di dalam segala sesuatu dan malah berkelebihan di dalam pelbagai kebajikan. 9 Seperti ada tertulis: "Ia membagi-bagikan, Ia memberikan kepada orang miskin, kebenaran-Nya tetap untuk selamanya." 10 Ia yang menyediakan benih bagi penabur, dan roti untuk dimakan, Ia juga yang akan menyediakan benih bagi kamu dan melipatgandakannya dan menumbuhkan buah-buah kebenaranmu; 11 kamu akan diperkaya dalam segala macam kemurahan hati, yang membangkitkan syukur kepada Allah oleh karena kami. 12 Sebab pelayanan kasih yang berisi pemberian ini bukan hanya mencukupkan keperluan-keperluan orang-orang kudus, tetapi juga melimpahkan ucapan syukur kepada Allah.
2 Kor 9:6-12

Menabur Banyak, Menuai Banyak
Hal ini biasanya menjadi motivasi ketika seseorang memberi. Semacam investasi di bidang keuangan yang ditawarkan oleh dunia ini. Tetapi, investasi ini diserahkan kepada Allah yang mengelolanya! Celakanya, ayat inipun seringkali dipakai oleh beberapa pendeta untuk memotivasi jemaat2nya memberi persembahan. Lho, di mana salahnya memakai ayat ini? Bukankah Rasul Paulus justru mengatakan hal ini untuk memotivasi jemaat Korintus dalam hal memberi kepada orang-orang kudus yang membutuhkan?! Kita perlu dengan cermat membaca ayat ini dan konteksnya.

Biasanya ayat ini ditafsirkan bahwa memberi uang banyak, akan menuai uang banyak, bahkan bisa berkali-kali lipat. Tetapi, kita seharusnya memperhatikan lebih teliti apa saja yang akan dituai. Kalau kita perhatikan, maka yang akan dituai adalah:
- dilimpahkan segala kasih karunia yang membuat berkecukupan di dalam segala sesuatu dan berkelebihan di dalam segala kebajikan (ay. 8)
- disediakan benih, dilipatgandakan dan menumbuhkan buah-buah kebenaran; diperkaya dalam segala macam kemurahan hati, yang membangkitkan ucapan syukur (10-11)

Maka, kelimpahan yang didapatkan ternyata bukan hanya berbicara tentang uang. Tapi, Allah akan memberikan kasih karunia yang membuat orang percaya berkecukupan di dalam segala sesuatu. Ya, di dalam segala sesuatu. Aneh! Memberi uang, kenapa dapat segala sesuatu? Uang biasanya menjadi segala sesuatu bagi manusia. Bahkan uang seringkali berada di dalam posisi di atas Allah. Itu sebabnya, waktu kita sadar bahwa uang hanyalah anugerah dari Allah dan kita bisa mengontrol uang itu dan mendistribusikannya dengan benar bagi kemuliaan Allah, maka Allah yang mengontrol segala sesuatu akan menganugerahkan kecukupan bagi kita. Seni memberi hanya dimengerti oleh orang-orang yang bisa mencukupkan dirinya dalam segala keadaan. Ada yang dapat banyak, tetapi tidak pernah cukup. Ada yang dapat sedikit, tetapi bisa berkelebihan dan bahkan bisa memberi.
Yang Allah berikan ternyata juga adalah kelimpahan di dalam berbagai kebajikan. Memberi ternyata juga mengajarkan seseorang tentang kebajikan (lebih tepat diterjemahkan: kebenaran-keadilan). Suatu kualitas yang indah dari seorang percaya yang memiliki ketaatan, kebaikan dan hidup untuk Allah. Yang kemudian dijelaskan di dalam ayat 9-11, bagaimana Allah memberikan benih untuk ditabur, melipatgandakan dan memberikan buah-buah kebenaran, membuat ada kelimpahan kemurahan hati.
Ternyata yang ditabur adalah benih kebenaran dan yang dituai adalah buah-buah kebenaran.

Memberi di dalam kebenaran, Menuai Buah-buah Kebenaran
Memberi bukan hanya sekedar memberi. Maka, kalau ada orang-orang yang memberi dengan motivasi keuntungan bagi dirinya, apalagi dengan bersungut-sungut, apakah ada kebenaran di dalamnya? "Masih untung saya mau memberi!" Pernah dengar kalimat ini? Seseorang yang merasa dirinya seharusnya tidak memberi, tetapi akhirnya dia memberi, seolah-olah dialah seorang dewa penolong. Di zaman sekarang ini, apalagi di Indonesia dengan berbagai macam kesulitan ekonomi, membuat bisa memberi dan menolong sudah dianggap luar biasa. Tapi, Paulus justru menekankan pada pemberian di dalam kebenaran dan memberi dengan sukacita. Serta menuai di dalam kebenaran juga.

Seseorang yang memberipun ternyata perlu memeriksa motivasinya di dalam memberi. Apakah yang memberi bersukacita karena bisa membuat orang yang diberi bersyukur memuliakan Allah? Apakah dia memberi karena mengerti kemurahan Allah yang sudah memberikan kelimapahan dan kecukupan di dalam hidupnya? Ataukah ia memiliki motivasi yang lain untuk bisa bertambah banyak lagi kepemilikannya dan memanfaatkan Allah serta orang yang akan diberi?
Orang-orang yang mengerti seni memberi adalah orang-orang yang memberi dengan sukacita, bukan karena mengharapkan kelimpahan yang lebih lagi, tetapi karena sudah melihat kelimpahan di dalam benih-benih yang ditabur yang akan dilipatgandakan oleh Allah dan ditumbuhkan menjadi buah-buah kebenaran yang akan memuliakan Allah. Sukacitanya adalah di dalam melihat kelimpahan ucapan syukur yang akan diberikan kepada Allah.
Itu sebabnya orang-orang yang punya kerinduan yang besar untuk memuliakan Allah adalah orang-orang yang memberi. Sebaliknya, orang-orang yang hanya hidup untuk dirinya akan sulit untuk memberi, kecuali dengan motivasi untuk mendapatkan lebih lagi berkat-berkat bagi dirinya. Mungkin Allah akan memberikannya, tetapi orang-orang itu tidak pernah mengalami kecukupan dalam segala sesuatu, kelimpahan kebenaran-keadilan dan kemurahan hati, serta sukacita di dalam memberi.

Bagaimana dengan saudara? Bersukacitakah di dalam memberi?




Baca juga:

- Seni Memberi (2): Memberi Berkat

- Seni Memberi (3): Pemberi yang Bersukacita